Side Story一(T)

605 66 42
                                    




"Hey anak manis, kau disana rupanya."

Gadis berpakaian serba hitam dengan tanda salip yang menggantung di lehernya itu tersenyum kecil, tungkainya mengalun bak model catwalk, menimbulkan suara nyaring dari higheels dan lantai kayu yang dipijaknya. Poni ratanya sedikit bergerak, ditemani netranya yang menatap sang lawan tajam.

Oh lihatlah wajahnya, pipi gembil dan mata sipitnya sangat menggemaskan, membuatnya tak sabar merasakan aliran darah yang mengalir didalamnya.

"Apa robotmu itu sangat penting sampai kau tak mendengar suara berisik dari bawah?"

Anak itu berdiri, tanpa sadar kaki kecilnya melangkah mundur. Ia tak menyukai tatapan gadis dihadapannya, sangat menyeramkan.

"Kenapa kau terus mundur? Aku tak akan menyakitimu. Hanya sedikit... bermain-main?"

Sungguh, ia sangat senang melihat wajah mangsanya yang ketakutan. Menimbulkan euphoria yang tak dapat dijelaskannya, ia sangat menikmatinya, setiap perubahan ekspresi yang dapat dijangkau indra penglihatannya sangatlah membahagiakan.

Gadis itu berlutut, menumpukan tubuhnya dengan sebelah lututnya. Perlahan jari lentiknya mengelus garis rahang sang anak, berhenti pada dagunya, dan turun pada lehernya...

... lalu menancapkan kukunya disana.

Astaga ia bersumpah, inilah kebahagiaan sesungguhnya. Ia suka, bahkan setiap detiknya. Membunuh memang menyenangkan, tapi membunuh musuh yang masih berada dalam satu kasta lebih menggairahkan. Laura, kuharap kau menyaksikannya.

"Aku tak tahu kenapa tak pernah dibiarkan memburu spesiesmu, padahal aku bisa menunjukkan bagaimana cara membunuh dengan baik."

Anak itu masih diam dengan tubuh yang gemetar, tenggorokannya sakit. Robot yang di genggamnya di cengkramnya kuat, melampiaskan rasa perih dari darah yang perlahan mulai menyelinap keluar dibalik kuku lancip sang gadis.

"Demi Tuhan, kau sungguh menggiurkan. Bau darahmu bahkan tak tercium sedikitpun, bolehkah aku mencicipinya? Hanya sedikit, hingga kau tak memiliki setetes cairanpun."

Mata gadis itu berubah merah, dan taring muncul dari balik bibir mungilnya. Oh lihatlah binar yang muncul disana, siapapun akan tahu seberapa bahagianya ia.

"Bagaimana jika memutuskan kepalamu dulu, lalu meminum darah yang menyembur darisana? Kalau begitu pilihlah manis, kanan, kiri, atas, atau bawah?"

Gadis itu tertawa, lihat saja pemandangan indah didepannya. Anak itu menangis, tanpa suara dan itu menakjubkan.

"Kalau begitu aku yang putuskan."

Akhhh

Tubuhnya terpental beberapa meter, membuat surai hitam legamnya menutupi wajah pucatnya, "Brengsek."

Gadis itu berdiri, menghampiri pria yang tadi menyerangnya, lalu mencekiknya, dan mendorong tubuhnya hingga terbentur dinding.

"Jangan ganggu urusanku penghianat."

Pria itu mencengkram lengan sang gadis, berusaha melepaskannya. Namun apa daya, tenaganya telah berkurang karna tak lagi melakukan penyempurnaan.

"Jangan... sakiti... anakku."

Pria itu terlempar sangat keras, entah benda apa saja yang membenturnya hingga mengaduh kesakitan. Namun gadis itu tak peduli, pandangannya bahkan tak melunak sedikitpun, amarah telah menguasai dirinya.

Bagai dejavu, kejadian beberapa tahun silam melintas begitu saja, membuat memori yang sedang berusaha bangkit itu langsung menyeruak ke udara seolah tak mempedulikan nasib pria yang akan segera menemui ajalnya. Ia tentu tak lupa, mengingat pertemuan perdana mereka kala pria itu mencoba bersembunyi. Ingatan itu masih terekam jelas, saat ia menyaksikan pria itu bersama wanita sialan yang membuncit. Amarahnya tak lagi tertahankan, melihat buah hati terkutuk mereka berhasil lahir ke dunia.

THE HALF BLOOD VAMPIRE (THBV)Where stories live. Discover now