“Dih, sini gue temenin.” Ghea menarikku untuk masuk tak lupa kami yang mengucap salam. Kelas yang sudah rapi siap pulang membuat mata mereka otomatis tertuju ke kami. Aku benar-benar tidak peduli, yang harus kulakukan adalah segera menyelesaikan amanahku.

Saat aku sedang menjelaskan kalau sesuatu yang kubawa untuk Bu Mia berasal dari Bu Dessi kurasakan sebuah tangan besar merangkul bahuku. Jangan berharap itu Alastair karena tentu saja itu mustahil. Mario adalah orang yang berdiri di antaraku dan Ghea, cowok itu berdiri sembari merangkul kami dengan Bu Mia yang ada di depan.

“Lo pada ngapain ke sini?”

“Temenin Thana,” jawab Ghea.

Bu Mia menggeleng-geleng melihat kelakuan Mario. “Kamu sendiri ngapain ke sini?”

“Saya mau nemenin pacar dan sahabat pacar saya, Bu.”

“Jadi pacar kamu itu Thana atau Ghea, kenapa dua-duanya kamu rangkul?”

“Pacar saya Ghea seorang, Bu. Kalau Thana calon pacarnya Cakra.”

Kelihatan kernyitan di dahi Bu Mia. “Cakra itu Alastair, kan?” Aku mengelak dengan netra Bu Mia yang bergerak mencari-cari di mana keberadaan cowok yang baru saja Mario singgung.

“Alastair!”

“Iya, Bu?” cowok yang baru saja me-res tasnya menoleh ke arah panggilan.

“Jadi, Thana yang lagi kamu deketin sekarang?” Pertanyaan Bu Mia sontak membuat kelas ini riuh dengan siulan dan godaan apalagi cowok-cowok yang kukenal sebagai anggota Batalyon.

Hell, aku yakin seribu persen, setelah kejadian ini akan timbul cie-cieen lain di lain tempat dan lebih banyak dari ini.

“Kalau udah resmi jadian, jangan lupa teraktir Ibu sama temen kelasmu, yah.” Lagi, mereka semakin menjadi-jadi. Di balik aku yang berusaha mengatur tawa, senyum, rasa malu dan jantungku yang debarannya tak karuan. Sebagian rasa takut mendominasi di dalam hatiku, yakni takut kalau Alastair merasa risih dengan ini hingga akhirnya ilfeel dengan diriku.

Setelah mengurus semuanya aku keluar bersama Ghea dan jangan lupakan suasana masih seperti tadi. Tidak sampai sepuluh menit Alastair keluar dari kelasnya dengan jaket hitamnya, juga topi sekolah. Cowok itu terlihat memerhatikan ponselnya saat berjalan keluar dari kelas kemudian setelahnya netra cowok itu mencari-cari seseorang.

“Cakra! Lo jadi pulang bareng Thana, kan?” Serbu Jessica.

Alastair mendekat begitu pun dengan ke tiga temannya. Dipo juga ikut bergabung, baru saja, entah apa yang ia urus dulu di dalam kelas.

Kulihat Alastair mengangguk. “Iya.”

“Syukur deh, udah sana pulang, hati-hati, jagain sahabat gue.”

Terdengar kembali siul-siulan menggoda dari teman-teman Alastair yang hanya bisa kudiami sambil mengatur senyum tertahanku. Sial, walaupun kelihatannya aku kesal namun jauh di lubuk hati terdalamku, terselip rasa bahagia yang menjerit.

Berjalan bersama menuju parkiran, aku akhirnya berpisah dengan ketiga sahabatku saat kami sampai di sana. Mereka bertiga pulang bersama pasangan mereka masing-masing. Kecuali, Dipo dan aku. Namun, setidaknya aku tidak pulang sendirian, plus plus-nya lagi, aku pulang bersama asetnya Batalyon.

Hari ini Alastair membawa mobilnya, ah lebih tepatnya mobil milik kakak keduanya, Alaska. Motor hitam yang sering dibawa Alastair ke sekolah, itu motornya sendiri yang dibelikan oleh Om Tama saat ia beranjak naik ke kelas 2 SMA. Informasi itu kudapatkan langsung dari Bunda Aruna saat aku sedang bekerja.

Alastair Owns MeWhere stories live. Discover now