Sebatas Cinta~

47 6 2
                                    

Terkadang, dua insan diciptakan cukup saling menyimpan rasa, bukan untuk saling memiliki.

******

Hujan masih mengguyur Jakarta
sejak tadi siang. Dari lantai lima, Grace dapat melihat tak ada aktivitas di bawah sana. Biasanya pada sore hari, kolam renang akan ramai dikunjungi oleh anak-anak dan Grace paling senang melihat mereka berseluncur dari ketinggian sambil mengurai tawa saat tubuh mereka merosot ke kolam.

Jika saja suaminya bisa berpikir sedikit waras mengenai hubungan suami istri, setidaknya Grace akan mempertimbangkan rumah tapak untuk ditempati bersama anak-anak mereka kelak. Namun rasanya, Grace harus mengubur angan-angan tentang sebuah keluarga.

Dean memang sehat secara fisik, namun kewarasannya patut diragukan. Mengenai laki-laki yang menjadi kekasih suaminya, rasanya Grace tak akan seterhina itu jika saja Dean lebih memilih seorang perempuan sebagai simpanannya.

Grace menarik napas, membiarkan oksigen masuk labih banyak lagi. Dadanya terasa sesak tiap kali teringat lelaki itu, terlebih kematiannya yang mendadak. Satu bulan setelah kematian Dean, barulah Grace boleh bernapas lega saat bukti-bukti tak lagi memojokannya selaku saksi. Saksi? Grace hanya kebetulan menjadi istri Dean dan tinggal bersamanya. Selebihnya Grace tidak tahu-menahu mengenai motif bunuh diri suaminya.

Grace meraih jepitan yang teronggok di ujung dipan, lalu menggelung rambut ikalnya dengan energi baru---mengingat sore ini ada janji temu dengan Ben.

Grace menuruni  apartemen. Keluar dari lift, kaki jenjangnya melangkah cepat menuju konter untuk memesan secangkir cokelat, lalu mencari tempat di sudut kafe. Sambil meletakkan cangkir, irisnya mengedar ke seisi cafe---barangkali Ben sudah ada di sana. Terlihat olehnya ada beberapa pasangan tampak sedang berbincang-bincang di meja yang lain. Sambil menyeruput cokelat panasnya, Grace membuka ponsel. Ucapan turut berbelasungkawa dari teman dekat, memenuhi laman Facebook-nya.

"Grace."

Perempuan berusia 27 itu mendongak, lalu mengurai senyum begitu mendengar satu suara yang hampir setiap malam mengisi mimpi-mimpinya. "Hai, Ben," balasnya.

Lelaki bertubuh tinggi itu sedikit membungkukkan badannya saat menjabat tangan Grace. Sorot matanya yang teduh, tak urung membuat jantung Grace sedikit berdebar-debar. Perempuan itu nyaris lupa kalau dirinya sudah terlanjur memutuskan hidup bersama dengan Dean.

"Kamu mau minum apa?" Grace berusaha mengalihkan perasaan konyolnya.

"Hmmm ... kopi tanpa---"

"Tanpa krim dan gulanya sedikit," interupsi Grace. "Kamu bilang, penikmat kopi sejati akan tahu bedanya jenis-jenis biji kopi jika menikmatinya dengan sedikit gula," lanjutnya.

Pemilik rahang tegas itu mengurai tawa saat mendengar penuturan Grace. "Bahkan kamu masih sangat mengingatnya," ucapnya kemudian.

Tawa Grace pun ikut terurai, lalu bangkit dan berjalan menuju konter. Setelah berhasil mendapatkan pesanan Ben, Grace kembali dengan secangkir kopi hitam.

"Makasih." Ben tersenyum, memamerkan lesung pipitnya yang menawan.

Kopi yang mengepulkan asap itu menjadi pemandangan menarik untuk Grace saat ini. Ben mengangkat kopinya, meniup sebentar lalu menyeruput sedikit.

"Aku nggak tau harus berduka cita atau bersuka cita atas kematian suamimu."

Grace sedikit tercengang dengan ucapan Ben, namun tak urung ia mengukir seulas senyum. Kematian Dean akibat overdosis, tentu telah memenuhi media masa waktu itu.

All About Memories Where stories live. Discover now