EMPAT

10.4K 285 4
                                    

Berbeda dengan Hanaya yang masih memasang wajah siap berkelahi dan kesal pada lawannya, wajah Arisa kini sudah dipenuhi binar kebahagiaan. Selama perjalanan menunju ruangan Altana, gadis itu merasa hanya dia dan Altana saja yang ada di gedung kampus ilmu hukum itu sekarang.

Hanaya, pekerja kampus, dosen dan mahasiswa lain dimana?

Entahlah dimana, Arisa tidak tau karena fokus matanya saat ini hanya tertuju pada sosok tampan yang menjadi alasan senyum lebar dan wajah berbinarnya ini.

Brraakk

Dengan sedikit kuat Altana meletakkan buku yang dibawanya ke atas meja kerjanya, kemudian pria itu menyandarkan pinggulnya dipinggiran tempat dia meletakkan agendanya tadi. Lalu dilihatnya Arisa dan Hanaya bergantian.

"Bukankah kalian ini mahasiswa?"

"Iya pak saya mahasiswa," jawab Arisa cepat masih dengan senyum begitu lebar diwajahnya ditambah dengan kedipan-kedipan centil yang membuat Hanaya disebelahnya memasang wajah ingin muntah.

Tidak menyadari cibiran dan reaksi tidak suka yang ditunjukkan Hanaya kepadanya, Arisa terus melanjutkan aksi genitnya. Altana sendiri hanya memasang wajah datar, entah dia sadar atau tidak kalau saat ini menjadi sasaran kegenitan kecil ala Arisa.

"Kalau kalian tau kalian mahasiswa, kenapa kalian bisa-bisanya bertingkah seperti tadi?" Tanya Altana meski tidak ada jawaban dari Hanaya untuk pertanyaannya sebelumnya. Bukan karena dia tidak menghargai Hanaya, tapi karena dia tau mahasiswinya itu tidak akan menjawabnya.

Seketika senyum Arisa hilang dan dia ingat kembali dengan Hanaya dan apa yang dilakukan gadis itu kepadanya tadi.

"Ini bukan salahnya aku pak, ini salahnya dia yang selalu sirik tanpa alasan kepadaku." Jawab Arisa setelah sempat memutarkan tubuhnya pada Hanaya tadi.

"Hah apa yang tanpa alasan, apakah kamu pikir orang tidak muak dengan sikapmu yang menyebalkan dan murahan itu?"

Kembali dengan mode sangarnya Arisa kemudian menjawab, "Murahan dan menyebalkan?" Arisa kemudian memutarkan bola matanya. "Talk to your self girl. Apakah butuh cermin buatmu untuk bisa melihat dan mengenal dirimu?"

Hanaya sudah akan membalas ucapan Arisa, namun Altana sudah terlebih memotongnya. "Sepertinya akan percuma buat saya untuk mendamaikan kalian," kata pria itu menyorot dengan tatapan datarnya pada Arisa dan Hanaya. "Hukuman lebih cocok dengan kalian," lanjutnya menudian dua buku yang tebalnya membuat Arisa bergidik ngeri.

"Tapi pak..."

"Tidak ada tapi-tapian," potong Altana pada protes yang akan Arisa keluarkan. Membuat Hanaya yang juga akan protes ikut berhenti. "Kalian harus meringkas isi buku ini dan hasilnya berikan kepada saya minggu depan," tekannya mengabaikan wajah memelas keduanya.

Altana tau dia sedang bersikap kejam saat ini karena tidak hanya tebal, buku itu juga berisi bahasa Inggris jadi pasti sulit buat keduanya buat menyelesaikannya. Tapi dia harus melakukannya karena hukuman yang layak buat keduanya memang itu karena sebagai dosen wali, Altana punya kewajiban mendispliskan mahasiswinya. Memang dia baru kembali mengajar hari ini di kampus ini, tapi dia sudah diberitahu apa yang menjadi bagiannya sejak minggu yang lalu. Dan mengambil alih kembali mahasiswanya dulu yang sempat dipencar karena kepergiannya adalah salah satunya.

"Saya pikir itu saja yang perlu saya sampaikan, sekarang kalian boleh keluar." Kata Altana sudah berjalan kekursinya.

Tapi dia segera teringat akan sesuatu, "Oh iya, Arisa kamu tinggal dulu sebentar disini. Saya ingin berbicara dengan kamu." katanya.

Sesuai dengan permintaan Altana, hanaya meninggalkan ruangan itu meninggalkan Arisa yang masih memasang wajah kecut karena hukuman yang diberikan Altana kepada mereka.

"Duduk," perintah Altana pada Arisa yang tidak segera duduk begitu dia kembali karena perintahnya tadi.

"Apakah kamu kesal dengan hukuman yang saya berikan?" Altana tau jawabannya, hanya saja dia menanyakannya karena tidak ingin to the point dengan apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan.

Bibir Arisa mengerucut ingin menjawab 'iya' tapi tidak dia lakukan karena dia sadar kalau dia juga salah. Memang bukan dia yang memulainya, tapi tetap sajakan Arisa menjadi bagian dari keributan ini dan dia harus bertanggung jawab untuk itukan? Lagian melakukan pembelaan disaat satu pihak yang lain tidak ada bukanlah style-nya Arisa. Terlalu pengecut rasanya kalau dia melakukan itu karena yang pasti hanya semua yang keluar dari mulutnya adalah pembelaan untuknya.

Cih, ternyata ada juga yang mampu merusak mood Arisa hari ini.

"Kalau aku bilang nggak, pak Altana pasti tau aku bohongkan?" Arisa menjawab dengan pertanyaan retoris yang dibalas Altana dengan anggukan.

Lalu suasana sempat hening sejenak.

"Jadi, apakah kamu sudah tau tentang rencana perjodohan dari orang tua kita?" Tanya Altana setelah menyandarkan tubuhnya agar pembicaraan mereka tidak terlihat begitu serius.

"Ya, mama papa sudah memberitahunya tadi pagi." Seolah lupa dengan hukuman yang baru diberikan Altana Arisa kembali tersenyum lebar dan bersemangat.

"Kamu tau kalau itu tidak masuk akalkan?" Altana bertanya dengan satu alis terangkat. "Maksud saya..."

"Kenapa tidak masuk akal?" Tanya Arisa memotong ucapan Altana, membuat dosennya itu sedikit terperangah karena terkejut. Apalagi ketika Arisa langsung berdiri dengan wajah yang sangat masam dan tangan yang berlipat di depan dadanya. "Kalau bapak mau saya menolak perjodohan ini, saya tidak mau. Saya suka sama bapak dan akan lanjut dengan rencana orang tua kita." Katanya lalu mengerucutkan bibirnya.

Dengan mata yang disipitkan seolah memberi ancaman yang malah terlihat lucu buat Altana, Arisa lalu berkata, "Aku nggak tau bapak keputusannya apa atas perjodohan ini, tapi yang pasti saya menginginkan bapak. Titik. Permisi," katanya lalu berlalu begitu saja meninggalkan Altana yang speechless.

I Want You Sir!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang