Mereka semua berdengung. Mereka semua ribut dalam suara rendah. Tapi, seharusnya malam ini saya belajar matematika, bukan mendengarkan mereka berdengung.

Itu salah.

Ibu Montik tidak pernah salah. Tapi, sekarang Ibu Montik salah. Ibu Montik seharusnya mengajarkan saya matematika, bukan tidur dibungkus begitu.

Perempuan tua yang memakai kerudung dan mukanya banyak sekali kerutan berkata, “Ibumu meninggal, Nak. Kita berdoa bersama-sama, yuk!”

Salah. Tidak boleh. Seharusnya saya belajar matematika, bukan berdoa. Berdoa itu nanti kalau saya mau tidur. Saya tidak boleh tidur kalau tidak belajar matematika dulu.

Kepala saya jadi sakit sekali. Saya memukul kepala dengan genggaman tangan. Ibu Montik berkata ini tidak boleh. Saya tidak tahan. Di dalam kepala saya ada dengung yang lebih keras dari dengungan orang-orang itu.

Laki-laki yang duduk di sebelah saya menarik tangan saya. Dia berkata, “Jangan!”

Itu larangan. Orang memang suka melarang saya memukul kepala.

Saya tidak tahan. Dengungnya makin keras. Orang yang datang semakin banyak. Saya membenturkan kepala ke tembok. Mudah saja karena saya duduk bersandar pada tembok.

Bunyi “duk duk” menggantikan bunyi dengungan.

Saya suka bunyinya. “Duk duk duk duk.”
Laki-laki itu memegangi tangan dan menghalangi kepala saya dengan tembok. Bagaimana ini?

Orang yang berdengung makin banyak.

Jam berputar terlihat semakin cepat.

Saya belum belajar matematika.

Ibu Montik dibungkus kain putih.

Saya belum belajar matematika.

Ibu Montik meninggal.

Jarum jam terus berputar.

Saya belum belajar matematika.

Kepala saya berdengung semakin keras.

Saya belum belajar matematika.

Paman Dani datang. Paman Dani memeluk saya. Itu tidak baik. Saya tidak suka dipeluk. Bukan pelukannya yang tidak baik. Saya hanya tidak suka dipeluk. Paman Dani memeluk tanpa peringatan. Seharusnya Paman Dani meminta izin. Ibu Montik berkata saya harus mengizinkan jika orang meminta izin melakukan hal baik. Paman Dani tidak minta izin.

Saya mendorong Paman Dani. Paman Dani jatuh. Guci kesayangan Ibu Montik jatuh. Orang-orang menjerit. Paman Dani menjerit. Saya tidak.

Ayah Agus menampar saya. Keras sekali. Wajah saya menabrak laki-laki di sebelah saya. Saya ingin meminta maaf, tapi Ayah Agus sudah menyeret saya. Ayah Agus merantai saya di kamar. Ayah Agus sudah lama tidak merantai saya, tapi Ayah Agus melakukannya.

Wajah Ayah Agus merah dan bergetar.
Ayah Agus berkata, “Seharusnya, kamu yang mati.”

Suaranya mendesis seperti ular. Saya mengira, Ayah Agus akan membanting pintu. Ternyata tidak. Ayah Agus menutup pintu pelan-pelan.

Sayangnya, Ayah Agus lupa menyalakan lampu.

Apa Ayah Agus tidak tahu kalau saya takut gelap?

Apa Ayah Agus tidak tahu kalau saya takut gelap?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Finn (Terbit; Gramedia Pustaka Utama)Where stories live. Discover now