Liz - Tragedy

9.5K 1K 206
                                    

Mereka bilang tragedi itu identik dengan kematian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mereka bilang tragedi itu identik dengan kematian.

Kata mereka kematian itu mencabut semua harapan dan kehidupan. Orang-orang berharap nggak mati, bahkan ilmuwan mencoba membuat obat yang bisa meremajakan sel tubuh biar orang nggak cepat mati. Saat ulang tahun, orang berharap dan berdoa agar panjang umur. Beberapa orang malah mempelajari ilmu kebal dan makan makanan supersehat biar nggak sakit. Mereka begitu karena takut pada kematian, sesuatu yang belum pernah mereka lihat.

Sebenarnya, ada yang lebih buruk dari kematian, hidup tanpa harapan. Itu jauh lebih buruk. Parah, kalau kubilang. Nggak mati dan juga nggak hidup. Ini baru tragedi yang sebenarnya.

Bukan bermaksud sok tahu, sekalipun mungkin aku tahu lebih banyak darimu. Aku melihat tragedi seperti ini selama bertahun-tahun. Aku hidup dalam tragedi mengerikan itu. Bisa dibilang, akulah tragedi mengerikan itu.

Aku melihat bagaimana sebuah keluarga yang bahagia hancur perlahan-lahan. Aku melihat bagaimana dunia yang berwarna-warni berubah menjadi abu-abu muram. Semua itu terjadi karena kematian. Sebuah kematian datang, lalu kehidupan lain yang tersisa ikut mati perlahan.

Aku yang melakukannya. Aku yang membunuh kehidupan orang-orang. Yah, literally.

Seharusnya aku memang masuk koran bagian kriminal. Kalau bukan karena masih di bawah umur, aku mungkin sudah memakai baju tahanan dan berada di dalam tahanan yang sama dengan pembunuh suami selingkuh, ibu-ibu yang berjualan narkoba karena nggak tahu lagi harus berjualan apa, pencekik bayi sendiri karena malu melahirkan tanpa suami, dan banyak penjahat lainnya. Sebenarnya aku sempat berpikir kalau masuk penjara itu mungkin lebih menyenangkan daripada merasakan penatnya mata kuliah matematika ekonomi yang dosennya sama sekali nggak mau buka mulut sambil menghadapi tekanan di dalam kepala seperti ini. Rumah tahanan itu sepertinya jauh lebih indah daripada menjejali kepala yang penuh dengan suara jerit korban yang kau bunuh sambil berusaha menjejalkan teori tentang manajemen pemasaran. Tetapi, hidup nggak mau berbelas kasihan padaku. Aku dapat hukuman yang jauh lebih berat.

Setiap melihat berita tentang pembunuh yang masih buron, diam-diam aku bersimpati pada si pembunuh. Bukan karena apa yang dilakukannya. Don't get me wrong. Aku tahu benar pembunuhan itu tindakan salah. Aku hanya bersimpati karena si pembunuh pasti nggak akan bisa hidup tenang.

Nggak. Nggak ada orang yang berbuat kesalahan, lalu bisa tidur dengan tenang. Sekali lagi, nggak ada. Apalagi kalau kesalahan itu sebesar pembunuhan. Dia nggak akan bisa hidup dengan normal lagi. Nggak akan! Dia pasti menghabiskan hari-hari memikirkan terus tentang kematian. Sadar atau nggak, rasa bersalah bakal terus mengejar sampai bikin pengin mati. Sayangnya, penjahat seperti itu nggak punya cukup nyali untuk mati.

Di pelajaran agama, guruku penah berkata, "Manusia itu sebenarnya diciptakan suci. Kalau mereka berbuat jahat, hatinya akan memberikan alarm. Dia akan menyesali perbuatannya. Hanya saja, seringkali manusia menutup pintu hatinya. Manusia melakukan pelarian untuk menutupi rasa bersalahnya. Jadilah manusia terus melakukan dosa baru tanpa merasa bersalah lagi."

Finn (Terbit; Gramedia Pustaka Utama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang