Part 27

12 1 0
                                    

Mereka berdua duduk di ruang perawatan menunggu Abah. Wajah Nisa sudah terlihat sangat lelah Sedetik pun Nisa tak beranjak dari sana. Ia terus menunggui abah.

"Nis, makan dulu." Adam masuk ke ruangan membawakan dua buah nasi bungkus yang dia beli di kantin rumah sakit. Adam tahu, semenjak menjaga abah siang tadi, sedikit pun perut Nisa belum terisi.

"Nisa nggak lapar, Mas."

Adam duduk di samping Nisa, seraya menarik kepala istrinya agar bersandar di bahunya.

"Kalau kamu sakit, siapa yang menjaga Abah?" ucap Adam lembut sembari mengelus kepala Nisa, "Makan, ya! Mas siapin nasinya." Adam bangkit lalu membuka nasi bungkus itu dan menyerahkannya pada Nisa, tetapi justru dibalas dengan gelengan.

"Nisa nggak cuma mau makanannya disiapin, tapi juga mau disuapin," goda Nisa sambil tersenyum dengan wajah letih yang tergambar jelas.

Adam tahu istrinya wanita yang luar biasa. Di saat seperti ini masih saja bisa menyenangkan hatinya. Membuat diri Adam merasa berguna sebagai seorang suami. Sedikit pun Nisa tidak pernah meminta bantuan. Namun, justru karena itulah Adam merasa ingin melindungi keluarganya, walaupun yang bisa dia lakukan adalah menjaga istrinya agar tetap sehat, seperti yang ia lakukan sekarang ini.

"Astaghfirullah," pekik Nisa tiba-tiba.

"Kenapa, Nis?"

"Nisa lupa, hari ini kan ada janji sama Jason."

"Setelah Abah pulang dari rumah sakit, baru kita atur ulang lagi, ya!"

"Tadi dia ngabarin ya, Mas?"

"Nis ...." Adam menggenggam tangan Nisa, "Manusia itu punya batas, kamu bukan wanita super yang bisa melakukan semua sendiri ... beri kesempatan Mas untuk merawatmu kali ini." Kali ini Adam mencium tangan Nisa, "Mas ridho kamu fokus ke Abah, biar yang lain Mas yang urus. Cukup ya, Sayang. Jangan buat Mas merasa menjadi laki-laki yang tidak berguna, karena belum bisa membahagiakan kamu."

"Sstt ...." Nisa menyilangkan jarinya ke bibir Adam lalu menggeleng, "Jangan bilang seperti itu, Mas. Mas adalah laki-laki paling hebat yang pernah Nisa temui. Annisa bangga dengan Mas. Tidak semua orang bisa melalui jalan hidup seperti Mas."

Adam tersenyum melihat istrinya dengan penuh syukur. Terkadang kita tidak menyadari bahwa dari sedikit ujian yang datang ada banyak nikmat yang Allah berikan. Jika kita mau lebih jeli melihatnya, itu sebuah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Bukankah ujian itu jalan bagi seseorang untuk naik kelas?

"Mas ...."

"Hmm ...."

"Nisa boleh tahu nggak chat WA-nya Jason?"

"Kamu ini ...."

Belum sempat Adam menyelesaikan bicaranya, Nisa sudah menyela. "Boleh nggak?"

Adam merogoh ponsel dari saku celananya, lalu memberikannya kepada Nisa. Wanita berwajah teduh itu membuka ponsel Adam dan membaca seluruh chat Jason

"Mas...."

"Hmm...."

"Nisa sepertinya nggak lega kalau masalah ini belum juga selesai."

"Nis ... nunggu Abah sembuh dulu, ya. Baru kita bicarakan lagi."

Nisa menggeleng, "Apa bedanya, Mas?"

Adam bergeming, tak tahu harus menjawab apa.

"Justru Nisa khawatir ... Abah akan tahu masalah kita jika tidak segera diselesaikan," ucap Nisa dengan raut wajah penuh harap.

Nisa menyerahkan ponsel yang ada di genggamannya kepada Adam, "Atur lagi pertemuan dengan dia, Mas. Biar besok aku minta suster untuk menjaga Abah."

Adam menerima ponsel itu dengan penuh keraguan, "Kamu yakin?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Nisa. Perempuan itu hanya mengangguk.

*

Di sebuah kamar, seorang pria menangis hingga terlelap memeluk foto. Sprei yang dia tiduri tampak basah karena air mata. Entah berapa liter yang dia tumpahkan untuk segala harapan yang tak kunjung nyata.

Ponsel yang semula ada di genggamannya, kini telah berpindah tempat berada di kasur samping kepalanya. Pria itu tersentak, saat getarannya beberapa kali terasa.

"Halo." Tanpa melihat siapa yang menelepon, dia segera mengangkat. Spontan, dia bangun saat mendengar suara seseorang di balik telepon yang dia kenal.

"Of course," ucapnya diiringi dengan dada berdebar, "Oh, thanks God. Akhirnya kamu meneleponku. Minggu ini? Oke, aku akan datang. Pasti!" Kata-kata penuh optimisme menjadi penutup teleponnya. Dia menghapus air mata, harapan itu kini terbentang luas di hadapannya. Bahkan seratus persen dia yakin orang yang dicintainya itu akan kembali.

*

"Apa katanya, Mas?"

"Dia bersedia datang dengan waktu yang kita tentukan."

Nisa terdiam, seperti membayangkan yang telah terjadi. Mungkin memang sang suami akan memilihnya. Tetapi rasanya belum siap jika dia harus menerima lagi hinaan yang dilontarkan dari mulut pria itu.

"Kamu kenapa, Nis?"

"Nggak apa-apa, Mas," ucapnya sambil menggeleng dan tersenyum.

"Ya udah, makan lagi ya nasinya. Nanti keburu dingin. Setelah itu, kita salat isya' berjamaah."

Nisa mengangguk.

"Mas ... jangan tinggalin aku, ya!"

"Kamu ngomong apa, sih? Oh ... Mas tahu, kamu pasti kepikiran besok, kan?" Adam menarik tubuh Nisa ke dalam pelukan, "Mas nggak akan ninggalin kamu hanya untuk mengulang dosa yang sama, Nis. Bodoh rasanya. Kamu ... terlalu berharga untuk ditukar dengan dia," ucap Adam di sela-sela tangis yang sebenarnya dia tahan. Adam tahu siapa Jason, dia punya kemauan yang keras. Di benaknya terbersit setitik harap, semoga saja besok menjadi akhir perjalanan kisahnya bersama Jason. Akhir yang baik untuk kehidupan pernikahannya dengan Nisa. Dia sepenuhnya yakin, memang tidak ada jalan hijrah yang mudah, Allah akan memberikan sedikit ujian, jika ujian itu tidak menghancurkanmu, maka akan menguatkanmu.

ADAM DAN MADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang