Part 21

658 39 2
                                    

Mas, Nisa berangkat dulu, ya," pamitnya seraya mencium tangan Adam. Namun, suaminya justru terlihat murung.

"Mas kenapa?"

Adam menggeleng, "Nggak apa-apa, Nis."

"Ya sudah, Nisa berangkat, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Sesaat kemudian, tiba-tiba Adam ingin mengatakan sesuatu, "Eh, Nis ... tunggu!"

"Ya, ada apa, Mas?"

"Boleh, Mas bicara?"

Nisa melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu menarik napas panjang.

"Nisa cuma punya waktu lima menit, sebelum berangkat ngajar."

Tiba-tiba saja Adam memeluk istrinya erat.

Nisa kaget melihat sikap suaminya, "Eh, Mas. Ada apa?"

"Mas minta maaf ya, Nis, belum bisa jadi suami yang baik. Mas belum bisa menafkahimu. Mas ... malu."

Di balik pelukan suaminya, Nisa justru tersenyum dan melonggarkan pelican Adam,

"Sudah sedihnya?"

Adam mengangguk.

Nisa tahu jika semakin diladeni, Adam justru semakin meratapi nasib. Ia tidak ingin suaminya menjadi lelaki yang lemah. Walau begitu, Nisa juga harus pandai menempatkan diri supaya Adam termotivasi tanpa merasa diperintah. Bagaimana pun juga, suami adalah pemimpin rumah tangga. Walau Nisa yakin, apa pun yang dia katakan pasti akan dilakukan Adam. Namun, ia ingin Adam juga belajar untuk menjadi suami yang baik.

"Mas, sudah salat Dhuha belum?"

Adam bergeming.

"Salat Dhuha dulu, Mas. Minta sama Allah, supaya Mas diberikan rezeki dari arah yang tak diduga dan Allah memberikan jalan keluar atas apa yang kita alami. Nisa juga tak putus berdoa kok, Mas, supaya kita menemukan jalan keluar."

"Mas ragu, Nis."

"Mas ragu?" Nisa mengernyit, "ragu sama Allah?"

"Bukan begitu, Nis. Mas ragu Allah akan berkenan mengabulkan permintaan, Mas."

"Kok gitu?"

"Mas ini siapa sih, Nis? Berani minta sama Allah. Sedangkan dosa Mas sudah tak terhitung jumlahnya."

Nisa menarik suaminya duduk di tepi ranjang, memegang tangannya, berharap bisa sedikit memberikan kekuatan.

"Mas ... justru karena bukan siapa-siapa, kita masih butuh Allah. Apa mau, Allah menilai Mas sebagai hamba yang sombong?"

"Ya janganlah, Nis."

"Maka dari itu, kita harus tetap berdoa sama Allah. Berdoa itu sebagai bentuk komunikasi hamba-Nya sama Allah. Gimana Allah mau membantu kita, kalau ngobrol aja nggak pernah."

Adam masih bergeming.

"Mas, ampunan Allah itu lebih besar daripada murka-Nya," Nisa menenangkan.

"Apa dosa Mas sudah diampuni sama Allah ya, Nis."

"Allah selalu memberi kesempatan pada hamba-Nya yang mau berubah. Bahkan Khalid bin Walid yang semula berperang melawan agama Allah, akhirnya menjadi pedang Allah, kan?"

Nisa menggenggam tangan Adam

"Nisa tahu kenapa Mas jadi sering galau gini."

Alis Adam bertaut, "Kenapa?"

"Udah berapa hari Mas nggak tadarus?"

"Lebih dari seminggu, mungkin." Adam mengangkat bahu.

Nisa melihat jam tangannya, "Nah, sekarang lebih baik Mas ambil wudhu, salat dhuha lalu tadarus alquran, supaya hati Mas tenang." Nisa memegang dada Adam. "Nanti sepulang Nisa ngajar, kita bicara lagi," himbau Nisa sambil melihat arlojinya, "Waktu Nisa udah mepet banget, takut terlambat." Wanita beraroma wangi itu mencium kedua pipi Adam.

*

Adam menggelar sajadah dan melaksanakan salat Dhuha.

Setelah selesai, dia membaca doa.

"Allahumma Inkaana Rizqii Fissamma-i Fa Anzilhu, Wa Inkaana Fil Ardhi Fa-Akhrijhu, Wa Inkaana Mu'siron Fayassirhu, Wainkaana Harooman Fa Thohhirhu, Wa Inkaana Ba'idan Fa Qoribhu, Bihaqqiduhaa-ika Wa Bahaaika, Wa Jamaalika Wa Quwwatika Wa Qudrotika, Aatini Ma Ataita 'Ibaadakash Shoolihiin."

Adam lalu mengambil alquran dari dalam lemari. Ketika membukanya, ia melihat fotonya ketika kecil bersama ibu. Adam ingat betul, di foto itu kira-kira ia berusia lima tahun.

Adam mengusap foto ibu, kerinduan yang tadinya mulai terasa samar, kini perlahan kembali memeluk erat. Tak terasa air mata Adam mengalir, hatinya berdesir menatap foto itu.

Robbiy habliy mil ladunka dzurriyyatan thoyyibatan innaka sami'ud du'a'. Doa di balik foto itu.

Tanpa sengaja, doa itu juga tertera pada halaman Alquran yang sedang dia buka. Adam membaca artinya pada alquran terjemahan yang berada di tangannya.

"Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa" (Qs.al-imron : 38)"

"Mashaa Allah, Ibu."

Adam memeluk foto dirinya bersama ibu sambil menangis tergugu. Tiba-tiba saja berkelebat kenangan bersama ibu saat dia masih kecil.

Ibu pernah bercerita ketika Adam hendak tidur. Menunggunya,butuh waktu yang tidak sebentar, perlu tingkat kedewasaan untuk menelaah maksud Allah, karena usia ibu saat itu sudah tidak muda lagi, dokter juga memvonis sulit memiliki anak. Delapan tahun menunggu, di tengah vonis kista ovarium, ibu selalu melafalkan doa. Doa yang sama ketika nabi Zakariyya mengharap keturunan dari Allah. Tidak ada yang mustahil jika Allah sudah berkehendak. Adam ingat, mata ibu menggenang ketika menceritakan ini kepadanya. Nabi Zakariyya melihat karunia yang diberikan Maryam kepada Allah, lalu memohon agar diberikan keturunan atas karunia dan kekuasaan-Nya. Sungguh Allah telah mendengar doa-doa orang yang mengakui kelemahannya dan Maha Kuasa untuk mengabulkan doanya, meskipun saat itu faktor usia dan kemandulan istrinya tidak memungkinkan itu terjadi.

"Dan setelah lahir, ternyata aku mengecewakan kedua orang tuaku. Sungguh aku makhluk yang hina, Ya Allah," ucapnya dalam tangis.

Ketika dia akan memulai tadarusnya, tiba-tiba ponsel Adam berbunyi.

Tertera tulisan "Mine" pada ponselnya.

"Assalamualaikum, Nis."

"Waalaikumsalam, Mas Adam. Maaf tadi Nisa lupa memberi tahu. Kalau Mas ingin makan, Nisa sudah siapkan semua lauk dan sayurnya di lemari makan. O ya, Nisa nanti pulang agak telat."

"Kamu mau ke mana, Nis?"

"Nisa ada rapat guru di sekolah."

"Oh, ya sudah. Maafkan Mas ya, Nis. Tadi nggak bisa antar kamu. Mas malu dan takut jika teman-temanmu bertanya di mana suamimu ini bekerja."

Di ujung telepon, Nisa tersenyum, "Nggak perlu minta maaf, Mas. Nisa ngerti kok."

"Syukurlah."

"Ya sudah, jangan lupa makan ya, Mas. Setelah sampai rumah, nanti kita bicara lagi. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah menutup telepon, Adam membuka aplikasi WA, dia mengecek kalau saja ada pesan penting yang masuk. Tiba-tiba manik matanya berhenti di nomor milik Jason. Dia buka pesan itu, ada dua pesan yang terhapus.

Seingatnya, Adam tidak pernah menghapus apa pun dari chatnya dengan Jason. Dia tidak pernah menyembunyikan apa pun dari Nisa.

Segera dia tepis prasangka itu jauh-jauh, meletakkan ponsel di atas nakas, lalu kembali duduk di atas sajadah, membaca lembar demi lembar alquran. Hatinya merasa damai, kekhawatiran yang dia rasakan perlahan mulai berkurang.

*

Sementara Annisa, duduk dibalik mejanya. Ada perasaan bersalah menggelayut di dadanya setelah berbicara pada Adam.

"Maaf ya, Mas, Nisa terpaksa berbohong. Ini demi rumah tangga kita," gumamnya seraya memikirkan suaminya yang sedang berada di rumah.


ADAM DAN MADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang