Part 22

992 35 1
                                    

Aku bergegas meninggalkan sekolah menuju parkiran motor. Hari ini benar-benar panas, padahal matahari sudah mulai condong ke barat, bukan hanya udaranya saja yang membuatku menguap. Namun, ini perihal sebuah perjuangan untuk keutuhan rumah tanggaku. Ini adalah salah satu pengorbananku sebagai seorang istri.

Aku memutuskan bersedia menikah dengan Mas Adam, seorang laki-laki istimewa pilihan Allah. Itu berarti aku harus siap menerima segala konsekuensinya. Kadang aku heran, melihat mereka yang enggan menikah hanya karena alasan materi atau ketidaksiapan mental. Padahal, di dalam sebuah pernikahan, seorang manusia akan diuji komitmennya, ketaqwaan maupun keimanannya. Tidak peduli orang itu berada atau tidak.

Bahkan Rasul sendiri bersabda, "Barangsiapa tidak suka dengan sunahku yaitu menikah, maka bukan termasuk golonganku."

Itu artinya, pernikahan bukanlah main-main. Penikahan menyempurnakan separuh agama dengan tujuan untuk beribadah dan menegakkan syariat Islam secara Kaffah dalam sebuah mitsaqon gholidha.

Jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 15:05 ketika aku masuk ke sebuah Mall di pusat kota. Seorang pria dengan kaus kerah berwarna biru sedang menatap layar ponselnya, sesekali terlihat mengetik pesan. Aku tahu kepada siapa pesan itu ditujukan.

Kuhampiri dia, alangkah terkejut waktu aku berada di depannya.

"Kamu?"

Jujur saja, saat ini jantungku hampir melompat keluar. Aku pun tak tahu harus memulai dari mana, yang kutahu, ini harus segera diakhiri.

"Iya, aku." Aku menarik kursi, lalu duduk di depannya tanpa dipersilakan.

"Mana Mada?"

"Aku tidak kenal Mada, dia sudah mati bersama dengan masa lalunya, sampai akhirnya kamu datang ke kehidupan kami."

Dia tersentak dengan apa yang aku ucapkan.

"Dia tidak mati. Dia hanya tidur, aku yang akan membangunkannya," jawabnya santai, rautnya seperti mengejek. Kalau saja aku tidak ingat ini tempat umum. Maka sudah aku siram wajahnya dengan kopi panas yang ada di depannya.

"Maaf, jangan terlalu percaya diri."

"Kamu nggak lihat sorot matanya? Bibirnya boleh berkata tidak, tetapi sorot matanya merindukan kehadiranku, Nisa."

Aku mengeraskan rahang, mencoba menahan ini semua.

"Aku nggak punya banyak waktu meladenimu. Aku hanya minta sama kamu, tolong... jangan ganggu rumah tangga kami." Aku sadar, berdebat dan berbicara keras padanya tidak akan membuahkan hasil, justru akan semakin membuatnya tertantang, "Kalau kamu sayang sama Adam, beri kesempatan dia untuk jadi lebih baik. Jauhi dia, biarkan kami hidup bahagia."

"Kamu yakin, Mada bakal hidup bahagia sama kamu?"

"Maksudmu?"

"Oh, come on. Jangan terlalu naif. Dia hanya berusaha bahagia, tetapi hatinya nelangsa, karena kamu memaksanya untuk berubah."

"Astaghfirullah, kamu bukan hanya tidak bisa melihat kebenaran, tetapi kamu juga telah memfitnahku."

Jason malah tersenyum satir. "Apa yang bisa dibanggakan dari wanita kerempeng dan konservatif sepertimu."

Aku tak tahan lagi, dia bukan lagi menggangguku dengan kata-katanya, tetapi juga menginjak-injak harga diriku. Apa dia tidak pernah diajari orang tuanya bagaimana cara menghargai perempuan?

Spontan saja, aku berdiri, kusiram dia dengan kopi yang ada di depannya.

"Argh!" Jason spontan menghindar sambil mengibaskan tangan. Ia mengerang, kopi panas itu mengenai tubuhnya.

ADAM DAN MADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang