Part 14

769 36 1
                                    

BRUK!

"Maaf!" Adam menabrak seseorang. Kontan saja, dia membantu memunguti barang-barang yang terjatuh dari dalam tas orang itu. Saking asyiknya melihat ponsel, Adam sampai tak melihat orang yang berjalan dari arah yang berlawanan.

"Gimana, sih? Makanya kalau jalan tuh pake mata, jangan pake dengkul!"

Adam mengernyit seperti mengenali suara orang itu. Dia lantas berdiri dan melihat wajah orang di depannya.

"Kak Manor?"

Orang yang dipanggil Manor itu mengernyit, mengamati Adam secara saksama sambil mengingat-ingat siapa orang yang ada di depannya. "Siapa, ya?"

"Me, Mada."

"Mada?" Refleks, Manor menutup mulut, "really? Kok beda?"

*

"Kamu ke mana aja, sih? Ih, eike dimarahin Pak Bos. "

Saat itu mereka memutuskan untuk ngobrol sambil ngopi di coffee shop rumah sakit.

"Kenapa dimarahin?"

"Ya, dese habis operasi trus ngilang!" Sambil mengibaskan tangan, Manor berbicara dengan gaya centilnya.

"Trus? Trus? Tapi nggak dipecat, kan?"

"No, no! Eike bilang aja, kok salahin saya sih, Pak? Lagian bapak nggak ngasih jaminan biar dia nggak resign sewaktu-waktu. Di surat kontrak ada nggak kata-kata DILARANG RESIGN BAGI KARYAWAN YANG SUDAH DIBIAYAI OPERASI?"

"Trus? Pak Andreas jawab apa?"

"Ih, dia diem aja! Alemong deh ahhh, nggak bisa jawab dese!"

"Trus?"

"Truuus? Nabrak!"

"Eh! Kok gitu?

"Lagian kamu ngapain resign nggak bilang-bilang, sih?"

Adam menghela napas panjang, "Ibuku baru aja meninggal, Kak."

Manor merespons dengan menutup mulut.

"Beliau ingin aku berubah." Untuk beberapa saat pandangan Adam kosong. "Tapi udahlah, mumpung ketemu Kak Manor, aku mau minta maaf. Pasti nyusahin Kakak banget,ya, sampai harus ditanyain Pak Bos?"

Manor menganjur napas dalam. Ia sangat memaklumi apa yang dirasakan Adam. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya berubah seperti perempuan. Itu pernah ia alami beberapa tahun lalu. Bedanya, kedua orang tua Manor akhirnya luluh dan menerima ia apa adanya.

"Nurut orang tua lebih baik. Jangan seperti aku...." Manor mulai serius.

"Kenapa, Kak?"

"Bertahun-tahun, aku ribut sama ibuku karena ini. Tapi ini memang bukan mauku."

Adam bergeming. Walau ia tahu, sebenarnya kalau mau, Manor juga bisa berubah. Namun, Adam tidak ingin menaihati Manor jika tidak diminta, karena tidak semua orang yang bercerita butuh itu. Barangkali saat ini Manor hanya ingin didengar.

"Aku doakan yang terbaik untuk Kakak."

"Makasih." Manor menyeruput kopinya yang mulai dingin. Walau ini bulan puasa, namun ia tak sungkan minum di tempat umum. Baginya ini biasa. Walau Adam tidak memesan minuman sama sekali, "Oh ya, kamu ngapain ke sini?"

"Mau lepas silikon, Kak."

Manor melongo, "Serius?"

Adam mengangguk cepat.

"Sama dokter Gun?"

"Iya."

Manor tampak menelisik.

Adam tahu apa yang ada dipikiran mantan supervisornya itu, "Ada yang biayain aku."

"What? Siapa? Cowok kamu yang blasteran itu? Siapa namanya?"

Adam tertawa ringan, "Siapa? Jason?"

"Iya, yang sering kamu ceritain itu. Gimana respons dia lihat perubahan kamu sekarang?"

"Dia belum tahu, Kak. Aku juga nggak mau ketemu sama dia."

Manor paham dan meghargai keputusan Adam.

"O iya, Kak. Kalau dia cari ke kantor, bilang aja Kakak nggak tahu, ya. Bilang aku udah mati kek,-"

"Hush! Amit-amit jabang bayi." Manor mengetuk-ngetuk meja dan kening membuat tingkahnya menjadi lucu. "Ngomong apa siiih?" tanya Manor dengan nada melengking.

"Aku udah mantap putus hubungan sama dia."

"Ya, tapi kan, nggak harus bilang kamu metong, dong. Bisa aja kamu resign nggak bilang-bilang, atau ... atau ...." Manor berpikir sejenak.

"Ya pokoknya terserah Kakak mau kasih alasan apa, yang kasih tahu keberadaanku, ya."

"Teruuus?" Manor mengangkat alis.

"Terus apa, Kak?"

"Siapa dong yang bayarin kamu lepas silikon kalau bukan si blasteran ganteng itu?"

Manor menggoda Adam dengan menaik turunkan alisnya.

"Dokter Gun," jawab Adam singkat.

"Alemong! Serius kamu, Da?" tanya Manor seolah tak percaya.

Adam mengangguk, "Serius! Beliau bilang aku anak baik. Sebenarnya dokter Gun ingin lihat orang-orang seperti Kakak ini bisa kembali normal," Wajah Manor berubah sendu, walau dia berbeda, tetapi sejujurnya Manor tidak ingin dibedakan, "Maksud aku seperti kita ini ...." Menyadari perubahan di wajah Manor, Adam segera meralatnya.

"Udahlah nggak apa-apa, bilang aja kayak aku yang bencong gini, ya, kan?"

"Maaf, Kak. Aku nggak maksud,-"

"Aku emang bencong, Da. Tapi bukan berarti aku nggak normal. Aku juga nggak mau gini. Ngerti kan, maksud aku? Memangnya kalau aku kayak gini terus aku nggak berhak diperlakukan sama gitu kayak orang lain? No! Aku Cuma nggak punya miss V aja, tapi aku masih nggak merugikan orang, kok."

"Aku dulu juga kayak gitu, Kak. Tapi aku mikir lagi, hidup itu bukan tentang menguntungkan atau merugikan orang."

"Lha terus tentang apa, dong?"

"Hidup itu seperti menulis sejarah. Yah, sejarah tentang diri sendiri. Mau jadi seperti apa kita sekarang atau nanti, itu akan terus terkenang di hati dan pikiran orang-orang. Dan, aku nggak mau dikenang sebagai banci, walau aku nggak pernah berbuat jahat. Siapa sih yang bisa menggores sejarah kalau bukan kita sendiri? Walau aku tahu masa laluku tidak bisa berubah, setidaknya kelak kalau aku punya anak, dia tahu kalau ayahnya pernah berjuang untuk berubah."

Manor terdiam, dia merenungi apa yang dikatakan Adam. Dia sebenarnya tidak tahu sampai kapan akan terus begini.

"Oh, ya. Kak Manor ada urusan apa ke sini?"

"Mau cari kamu," candanya.

"Serius? Kebetulan banget ya bisa ketemu."

Manor jadi berpikir ulang tentang niatnya ingin operasi kelamin setelah mendengar kata-kata Adam baru saja.

"Nggak ada yang kebetulan, Da. Mungkin ini cara Tuhan."

"CaraTuhan untuk apa?"

"Ya, cara Tuhan supaya kita bisa ketemu lagi."

Manor malu jika dia harus mengakui bahwa kata-kata Adam tadi baru saja membuka hati dan pikirannya. Cara Tuhan memang unik. Adam benar, sampai kapan dia akan terus menjadi banci dan mempermalukan keluarga?

Tiba-tiba dia membayangkan bagaimana cara anaknya memanggil dia nanti? Ayah atau Ibu? Atau dia sekaliyan saja tidak menikah? Toh kalau dia kembali, tidak ada seorang pun yang mau menerimanya.

ADAM DAN MADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang