Part 20

624 42 5
                                    

Sore itu, Annisa gelisah. Pikirannya tidak fokus. Tiba-tiba suara gelas jatuh memecah kesunyian. Gelas berisi teh panas yang sedianya akan dia suguhkan kepada Adam berderai mengenai kakinya.

"Astaghfirullahaladzim, Nis." Adam mendatangi istrinya yang tengah meringis kesakitan sembari memunguti pecahan kaca. Beberapa serpihannya bahkan mengenai kakinya.

"Sudah, Nis. Biar Mas saja yang bersihkan." Adam memapah Annisa menuju kursi makan.

"Aw!" Namun, Annisa tak kuat menahan sakit, lalu terjatuh lagi. Tiba-tiba, Adam mengangkat tubuh Annisa begitu saja. Sontak, Nisa kaget lalu melingkarkan tangannya ke leher Adam seraya memandang wajahnya.

"Kamu duduk dulu, jangan bergeraknya, Nis."

Dengan sigap, Adam mengambil washlap beserta air panas yang ada di termos lalu menuangkannya ke dalam baskom, dan mencampurnya dengan air dari kucuran wastafel sehingga sedikit hangat. Setelah itu, Adam bergegas mengambil perban dan obat merah di kotak obat yang tergantung di dinding dekat dapur.

Adam mendatangi Annisa, lalu jongkok di hadapannya, "Tahan ya, Nis. Mungkin agak sedikit perih," ucapnya seraya mendongak ke arah istrinya.

Beberapa kali Annisa meringis menahan sakit ketika Adam mencabut serpihan kaca, dan membersihkannya dengan air.

Annisa sedikit menyentakkan kakinya ketika Adam menempelkan kapas yang sudah diberi alkohol.

"Sakit, ya?"

Annisa mengangguk.

"Sabar ya, lukamu harus dibersihkan dulu, supaya tidak infeksi.

Dengan cekatan, Adam memberikan obat merah di luka Annisa, lalu membalutnya dengan perban.

"Nah, sudah selesai," ucapnya. Namun, dia melihat wajah Annisa yang basah karena air mata.

"Loh, kok malah nangis." Adam berdiri dan menarik tubuh Annisa dalam pelukannya. Dia tidak tahu, Annisa menangis bukan karena luka yang ada di kakinya. Tetapi karena tak kuasa marah menanyakan hubungan Adam dengan pria yang tadi pagi ke rumah. Sekarang, perasaan kehilangan lebih dominan daripada marah.

Annisa memeluk Adam erat. "Nggak apa-apa kok, Mas. Nisa cuma takut kehilangan, Mas."

Adam terkekeh. Seketika Nisa melepaskan pelukannya, "Kok malah ketawa sih?"

"Lah emang nggak boleh ya ketawa? Dari pada marah-marah?"

"Ih!" Nisa melipat tangannya di depan dada sembari cemberut. Sejak menikah, entah mengapa istrinya menjadi lebih manja.

Adam lalu jongkok di samping kursi Annisa, "Mas mau kasih tahu sesuatu," bisiknya.

"Apa?"

Tidak lama kemudian Adam bangkit lalu mengangkat tubuh Annisa ala bridal style ke dalam kamar.

***

Trrt...trrt...

Getaran ponsel milik Adam mengagetkan Annisa di tempat tidur. Nisa mengerjapkan mata, tangannya meraba-raba mencari asal suara.

[Hai, Dam. It's me. Jason.]

Hanya itu pesan yang baru saja masuk di whatsapp suaminya. Annisa mengernyitkan dahi.

"Ngapain pria itu WA, Mas Adam?"

Annisa kaget, seketika meletakkan ponsel ke tempat semula, saat tiba-tiba Adam keluar dari kamar mandi.

"Mandi dulu, Nis. Habis itu kita salat ashar berjamaah, sebentar lagi maghrib lho."

"Iya, Mas." Nisa bangkit, masih menggunakan daster berbahan dasar katun rayon kesukaannya. Annisa memang senang sekali menggunakan daster lengan panjang di rumah. Jika ada tamu, dia tidak perlu repot mengganti baju, tinggal mengenakan hijab lalu keluar menemui tamu. Begitu juga setelah berjima', Annisa tidak pernah telanjang penuh, sebagian tubuh dia tutupi dengan selimut. Pakaian yang dia gunakan tidak pernah sepenuhnya terlepas.

ADAM DAN MADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang