Para calon-calon pengurus OSIS bertepuk tangan. Bangga sama diri sendiri gue!

"Yang lain diem! Lo penghambat! Nggak usah banyak nyangkal!"

 "Kan, aturannya siapa aja boleh berpendapat. Ini gue berpendapat. Udah, ya, Kak!"

Raut wajah si Ketua OSIS itu tampak benci dengan respons gue. Asal kalian tahu, gue melontarkan respons tersebut demi percakapan ini segera berakhir.

Tapi ternyata, gue salah.

"Kamu itu ya! Di diskualifikasi malah bangga. Lo itu mau jadi apaan sih?" Emosi Kak Arka makin meledak bahkan sampai memecahkan batas kesabarannya.

"Iya bangga! Satu, gue membela kebenaran! Dan, kedua gue ikutan tantangan dnegan taruhan harga diri gue buat ini!" Situasi semakin sengit. Gue merasa kini teman-teman yang berstatus sama seperti gue beralih menjadi lelah.

"OSIS sebata taruhan di mata lo? Ikut taruhannya aja lo udah malu-maluin diri sendiri! Nih, seandainya lo disuruh pergi ke jurang karena taruhan, lo mau?!" jawab Kak Arka sinis. Simpulan macam apa itu? Seharusnya dia sebagai Ketua OSIS memperkenalkan citra baik organisasinya kepada calon-calon penerusnya.

"Bocil ansos gila! Prestasi nggak ada sok-sokan berpendapat. Ngelantur lagi!" gumam Kak Arka. Sayangnya, itu terdengar hingga kuping gue.

Ah, ya sudah. Itu tanda yang kentara bahwa gue memang harus mundur. Tidak peduli dengan melepas kata Ansos. Lebih baik terus menjadi Ansos kalau seperti ini jadinya.

Emang salah, ya? Berurusan sama cowok temperamental. Dua kali gue berurusan model kayak begini, selalu harga diri gue korbannya!

"Kalo lo mau gue enggak jadi OSIS. Tangkap ini!" Gue lempar kalung vandel itu ke arah kepala Kak Arka.

Entah insting apa yang dia pakai, dengan gesit ia mampu menghalaunya. "Nggak ada hormat-hormatnya, ya, lo? Vandel dija-"

"Gue doain Demis lo lebih cepet dari temen-temen lo," sindir gue pelan. Selamat merasakan malu luar biasa didepan para calon pengurus OSIS lainnya. Congrats, juga bikin gue kesal setengah mati. Selamat juga untuk ketiga kalinya udah bikin jiwa setan gue keluar.

"Nggak sopan. Mundur lo dari sini. Ganggu acara!" perintah Kak Arka. Untuk kali ini gue mundur. Bukan kewalahan, tapi kakak satu ini semakin menyebalkan!

Gue sampai di koridor kelas dan gue melirik sedikit ke arah Kak Arka yang lagi nulis sesuatu di sebuah kertas pengumuman hasil seleksi. Paling mau coret nama gue yang tadi keterima jadi diskualifikasi.

"Cacapsis sekalian ... mari kita lanjutkan kan pembagian hasil tes." Kak Arka mulai memanggil satu persatu. Gue rada bingung kenapa gue enggak disebut. Gue tersenyum bangga.

Pasti gue gak keterima, batin gue girang, bahagia, dan senang.

Gue melihat Arleen dan Tama berjalan menuju gue. Gue yang tadinya ada di koridor langsung masuk dan pura-pura nangis di meja.

DUAK!

Seseorang menggebrak meja gue.

Astaga ... baru datang gak usah bertingkah seperti kakaknya, 'kan?

"Udah gue bolehin, tapi lo keterlaluan banget," ucap Arleen dingin. Dia melirik sekumpulan anak yang tengah menunjuk anak-anak yang tengah bergosip soal gue menggunakan ekor matanya.

Seolah mengatakan ini semua hukuman lo.

"Malu-maluin haduh. Nggak gitu caranya, sumpah," imbuh Arleen lebih dingin. 

"Lo pikir ketua OSIS gabisa sakit hati apa? Kakak gue juga manusia. Sama lo sama sekali nggak mikirin rasa malu lo apa? Jadi topik. Belom belajar dari Alanta?" Arleen memberi kode mata untuk gue segera membuka amplop pengumuman. 

"Kok jadi Alanta? Justru gue belajar untuk membela diri dari orang kasar. Bahkan dia memperburuk citra OSIS di mata gue."

"Terserah lo." Arleen merapikan barang-barangnya, gue segera mencekal tangannya  tapi dia mengelak.

"Mau kemana lo?"

"Pindah. Nggak tahan gue ikutan jadi omongan."

Lah, terus gue....

"Si Arleen mau sama gue. Katanya biar agak jauh dari lo sama Tama. Sandra sama lo, ya?" Mahesa mengantarkan sosok Sandra kemari.

Gue cuman tersenyum skeptis. Sandra itu anaknya sedikit aneh, dia juga bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata. Gimana nggak takut? Untuk menyegarkan pikiran, gue memilih membuka amplop pengumuman.

Disitu terdapat tulisan:

CAPSIS ATAS NAMA DIBAWAH:
ALYOZA.T. ADHELIA
DINYATAKAN
LULUS
DARI LDKS DAN RANGKAIAN TES.

Nggak bermaksud. Maaf. Gengsi gue gede banget, wkwk.
-Arka buat Lyo-

Gue salah fokus dengan tulisan di penghujung pengumuman. 

"Gengsi?" Gue bergumam mengerutkan dahi.

"Biasanya orang kasar kayak gitu, nutupin perasaan sukanya karena ngerasa dirinya nggak pantes. Bukan nggak pantes juga. Gimana, ya? Biar lo ngerasa kehilangan sosok dia dengan bertindak kayak gitu. Dan berujung lo cariin," sosor Sandra tanpa ampun. Tahu dari mana dia? Apa ada sumber gosip di kelas yang memerhatikan hingga segitunya?

Sedetik dua detik gue ternganga. Suka? Nggak salah denger?

"Sok tahu lo! Mana ada kayak gitu? Jangan mentang-mentang cenayang semua lo ramal," kekeh gue memasukkan surat itu asal ke tas.

"Yah, terserah lo. Awas aja sampe entar beneran." Sandra berkata dengan kaku. Gue bingung.

"Prik lo, masa modelan dia suka gue. Ngaraaang!" sanggah gue tak percaya.

"Lo kaum nge-chat pake satu emoji doang apa gimana, sih? Ini senyum, Yo. Bingung gue ngomong sama bocah nggak pekaan kayak lo."

Ketos yang marahin gue, bentak gue, ngatain gue ternyata bisa cinta sama gue. Gue juga heran karena gue sama si Ketos itu beda kasta. Hah? Beda kasta? Iyalah, coba liat deh. Gue mau jadi Ketos aja udah pakai jampi-jampi tekad kuat maju mundur.

Sementara dia? Gue liat pas sebelum Pemilos tahun lalu, dia promosi nggak ada malu.

Mungkin Sandra emang ada benarnya. Tapi gimana dia bisa suka sama gue?

Up tiap Jumat 

Jangan lupa voment dan shareLup yu ❤

Buat versi revisi, hanya prolog dan beberapa bab yang sudut pandang tiga, selebihnya masih from Lyo's PoV.

Ketos Ansos [REUPLOAD] ✅ Where stories live. Discover now