Ch.5 Behind Close Door

91.2K 7.6K 97
                                    

"Kha, gue pulang dulu, ya. Enggak enak badan, nih."

Aku refleks memutar kursi menghadap meja Lisa. Wajahnya terlihat pucat, seperti mayat hidup. Dengan sisa-sisa tenaganya dia menyodorkan tumpukan kertas kepadaku.

"Gue udah bikin beberapa catatan. Nanti, lo aja ya yang bahas sama Donny." Lisa meringis. "Enggak apa-apa, kan?"

Sejujurnya aku tidak ingin Lisa pergi dan meninggalkanku berdua saja dengan Donny. Terakhir kali berduaan dengan Donny, aku hampir saja menelanjangi diriku di pantry. Menurutku, sangat tidak sehat jika aku berada dalam radius sangat dekat dengan Donny karena hanya Tuhan yang tahu seberapa lemah pertahanan diriku.

Namun, aku juga tidak tega melihat Lisa. Dia tengah hamil muda, dan aku bukan teman kurang ajar yang memaksanya untuk tetap tinggal dan berisiko membahayakan kehamilannya.

Aku tidak sanggup dibunuh oleh suaminya yang overprotective itu.

Speaking of the devil.

Kepala Donny melongok dari balik pintu yang menuju ke ruangannya. "Kita bisa meeting sekarang? Udah malam, biar enggak kemalaman kalian balik."

"Gue izin ya, Don. Enggak kuat gue."

Donny mendekati Lisa dengan ekspresi khawatir. "Ya udah, lo pulang aja. Gue sama Mikha bisa handle ini kok."

"Thanks."

"Gue anterin ya, Sa." Aku berusaha mencari celah, tapi Lisa menggeleng.

"Ralph jemput gue. Dia udah nunggu di lobi."

Aku masih sibuk mencari cara untuk membatalkan meeting ini sampai Lisa pergi dari ruangan ini dan meninggalkanku dengan Donny. Aku terpaku di tempat, tidak menyadari bahwa Donny sudah meninggalkanku.

"Mikhayla?"

Aku tersentak dan menatapnya. Dia memberikan gestur mengajakku masuk ke ruangannya. Setelah satu helaan napas, aku mengambil file yang dibutuhkan dan menyusul Donny ke dalam ruangannya.

Di ruangan ini, untuk pertama kalinya Donny menciumku.

Beruntung Donny langsung menggiringku dengan pembahasan soal proyek hotel baru di Bali. Dia sangat berapi-api dan terlihat jelas betapa dia menginginkan proyek ini. Passionate man always turns me on. Seperti Donny kali ini. Dia berkata tegas, jelas tahu dengan apa yang dia mau dan sudah memikirkan langkah apa yang akan ditempuhnya. Di balik wajahnya yang serius itu, aku bisa merasakan gairahnya yang membuncah.

Sial, mengapa aku malah jadi seperti cacing kepanasan begini?

Bukannya memberikan jawaban sesuai yang diinginkan Donny, aku hanya ber-hah? dan ooh ria karena pikiranku malah memikirkan hal lain.

"Gue bikinin kopi, ya. Kayaknya lo udah ngantuk."

Tanpa menunggu jawaban, Donny meninggalkanku sendirian di ruangannya untuk membuatkan kopi. Bisa saja aku mencegah atau mengikutinya ke pantry, tapi bayangan apa yang pernah terjadi di pantry membuatku urung memasuki tempat itu hanya berdua dengan Donny.

"Latte for you." Donny menyodorkan secangkir kopi kepadaku.

Aku menyesap kopi itu, berharap kafein bisa menendang kepalaku dan membuatku berpikir layaknya manusia normal.

Namun, tatapan Donny dari balik cangkir kopinya malah membuat otakku jadi amburadul.

Aku meletakkan cangkir itu di atas meja dan berusaha untuk menghindari Donny. Buru-buru aku mengalihkan perhatian dengan meraih kertas berisi rancangan proyek, bersamaan dengan Donny yang melakukan hal yang sama hingga tangan kami beradu.

Ada semacam getaran listrik yang mengaliri tubuhku ketika tangan Donny menyentuhku. Bukannya mengambil kertas itu, Donny malah berlama-lama di atas tanganku. Dia sengaja membiarkan tangannya menangkup tanganku. Jari-jarinya membentuk sulir abstrak di punggung tanganku, membuat aliran darahku berdesir kian kencang.

Aku menelan ludah dan berusaha menarik tanganku, tapi Donny malah mengusap lenganku dan kembali membuat sulir-sulir aneh di sepanjang lenganku. Aku pun memberanikan diri mengangkat wajah dan bertatapan dengannya.

Sebuah keputusan yang salah karena tatapan mata itu sangat memakuku.

Aku menelan ludah dan menahan diri untuk tidak melemparkan tubuhku kepada Donny.

Donny tertawa kecil sambil terus mengusap lenganku. Dasar pertahanan diriku yang memang sangat lemah, karena aku tidak punya kekuatan untuk menarik diri. Sedikitpun.

Akhirnya, aku tidak tahu setan apa yang meracuniku hingga aku malah mendekatkan tubuhku ke arah Donny. Sepertinya Donny sudah menunggu saat ini karena dia langsung menciumku. Seperti yang sudah pernah terjadi, ciumannya kembali membuaiku.

Donny mengangkat tubuhku hingga duduk di pangkuannya tanpa melepaskan bibirnya. Dia mendorong kepalaku hingga memiliki akses penuh untuk menjelajahi bibirku. Berada di pangkuannya bisa membuatku merasakan kejantanannya yang mengeras.

Sambil terus menciumku, Donny menangkup pinggangku dan membuat tubuhku kian keras menekan tubuhnya. Dia menyingkap rok yang aku pakai hingga ke pinggang dan membuatku semakin terbuka di depannya.

Donny mengalihkan ciumannya ke leher sembari mengusap pahaku. Usapannya mengalirkan efek kejut yang membuat dadaku berdebar keras. Ciuman dan usapannya membuatku semakin kesulitan menjaga diri, terlebih ketika aku merasakan betapa keras kejantanannya meskipun dibatasi oleh celana jins yang dipakainya.

Aku terpekik ketika Donny mencium dadaku. Meskipun rata, setidaknya putingku masih merasakan sensitivitas yang sama setiap kali disentuh atau dicium. Aku tidak bisa menahan erangan ketika Donny mempermainkan lidahnya di dadaku.

Dia begitu membuai sampai-sampai aku tidak sadar dia sudah melepaskan bajuku, membuatku hanya memakai bra yang disibakkan sehingga dia bisa memuaskan payudaraku.

Ketika tangan Donny menyentuh pangkalpahaku dan aku bisa merasakan celana dalamku terasa lembap akibat cairan gairah yang kurasakan, aku tersentak.

Aku tidak seharusnya melakukan ini.

Aku menutup mata dan bayangan Bayu muncul di sana. Terlepas dari dinginnya hubunganku dengan Bayu, aku tidak sepantasnya berhubungan dengan pria lain sementara statusku masih menjadi pacar Bayu.

Ada satu sisi hatiku yang menyuruhku untuk mengabaikan Bayu. Aku mencoba mengikutinya, meresapi setiap sentuhan Donny di tubuhku. Namun, setiap kali aku menutup mata, aku serasa bisa melihat Bayu.

"Sorry, I can't." Aku mendadak berdiri dan memunggungi Donny. "Sorry."

Di belakangku, aku bisa mendengar Donny tertawa kecil. "Ini yang kedua kalinya lo ninggalin gue di saat gue lagi nanggung begini."

Aku membenarkan posisi bra yang kupakai dan meraih bajuku yang dilemparkan Donny ke seberang meja. "Sorry." Aku terus menggumamkan hal yang sama.

"I have to go." Aku memberanikan diri menghadap Donny setelah memperbaiki pakaianku. "We shouldn't do it." Aku menggeleng.

"Why?" Donny menatapku dengan mata nyalang.

"Because..." Aku menelan ludah.

Rasanya aku tengah dihakimi sebagai seorang perempuan jalang yang hendak berhubungan dengan pria lain, sementara statusku memiliki pacar.

Dan aku tidak mau Donny memandangku serendah itu.

Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaanya dan meninggalkannya. Untuk kedua kalinya.

[COMPLETE] Playing with FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang