"Ya Tuhan Sean.. Kau.. Ini kau?!" Anna hampir menangis. Ia tak pernah menyangka akan perwujudan ini. Ia terkejut sekali, namun luapan kebahagiaan lebih mendominasi.

Sementara Sean langsung dapat merasakan kehangatan dari tubuh gadis itu. Pelukan dari lengan-lengan kurus yang membungkus batang lehernya, helaian lembut dan aroma harum dari rambut Anna yang menyentil hidungnya, seketika membuatnya jauh lebih baik. Seperti, mengobati luka dan rasa sakit yang tadi terbalut sempurna pula oleh amarah.

Sean hampir berbicara, namun pita suara dan organ lain dalam batang lehernya belum sepenuhnya kembali. Terasa sedikit sakit seakan masih terjadi pergolakan di dalam sana yang membuatnya mengurungkan niat untuk membuka mulut. Ia hanya mengangkat tangan berselaputnya dan menepuk punggung Anna. Mengusap lembut seakan membayar kehadiran gadis berkulit pucat itu dengan terus menenangkannya.

'Ya, ini aku. Kau tidak apa-apa? Jangan menangis lagi.'

Tak peduli dengan tangannya yang terasa sangat nyeri akibat luka-luka saat ia memukuli kaca aquarium tadi, Sean kemudian membalas pelukan Anna, mendekap tubuh kurus gadis itu, menenggelamkan wajahnya di bahu serta rambut Anna. Dan itu membuatnya merasa sangat nyaman. Ia dapat merasakan guliran nafas Anna di sela-sela isakan tangis, ia dapat merasakan lumatan emosi mereka yang menjadi, dan ia dapat merasakan kelegaan besar di atas semua itu. Kepedulian Anna, keberanian Anna yang mau datang kemari untuknya, dan.. air mata yang menetes untuknya itu, yang mengalir dan jatuh ke atas bahunya, Sean tak mungkin dapat melupakannya begitu saja.

'Terimakasih..' Ujar Sean.

Ia hampir larut dalam emosi mereka yang terpicu sebelum sesuatu menghancurkan momen manis tersebut. Kegaduhan, muncul ketika alarm mendadak terdengar di seluruh sudut gedung.

******

Meree berhenti mengibaskan ekornya, muncul ke permukaan dan mendongak ke langit malam yang cukup cerah. Air hanya sebatas dagunya ketika ia lebih fokus memandang bulan yang cukup terang menghiasi langit di atas kepala mereka.

'...Waktunya hampir tiba...'

Betina itu mengaum sesekali. Beberapa duyung di belakangnya ikut muncul ke permukaan dan memandangi langit. Hamparan air terlihat lebih terang dari hari kemarin, biasan rembulan seolah tampak seperti bayangan bola yang jatuh dan sesekali tercerai-berai, membentuk gambar yang terpotong-potong memanjang dihantam gelombang-gelombang kecil.

Hari yang mereka nanti akan segera datang. Perjalanan mereka menuju palung di sekitar barisan igir utara Atlantik itu dimulai sejak ia bertemu dengan William nanti. Meree akan menuntun William masuk ke wilayah kawin bangsa mereka yang kemudian William sendirilah yang akan mencari tempat untuk mereka memadu kasih, bercumbu hebat, melakukan pembuahan layaknya jutaan pasangan lain di sana.

Luar biasa! Meree tak bisa melepaskan bayangan William dalam angan-angannya. Ia tak tahan untuk segera menemuinya. Instingnya mengenai pejantan itu, mengenai semua hal tentang William menjadi lebih kuat sejak ia bertemu dengan putra William yang cacat itu. Bayi mungilnya tersebut, astaga! Ia dapat merasakan kalau anakkan itu juga akan muncul besok. Entah bagaimana memanggilnya, Meree tak sempat memberikan nama untuk pejantan muda itu. Ia indukan yang payah, ia bahkan menyesali perbuatannya untuk melepaskannya di daratan.

Di hari sejak ia ditinggalkan di pantai, ia terus memikirkan bagaimana putra William tersebut akan hidup. Bagaimana anakkan tersebut dapat bertahan dari serangan pemangsa yang lebih kuat darinya, Dan bagaimana bila ia mati kelaparan karena tak bisa menemukan makanan atau mangsa? Hanya lautan yang dapat memberikan mereka makanan, sedangkan daratan hanya akan membuat mereka menderita.

Meree tak sanggup mengingat kecerobohan yang ia buat. Dan ia tak ingin mengulanginya jika mereka bertemu besok. Ia tak ingin melepaskannya lagi, ia akan mengasuhnya bersama William, memberinya makanan yang cukup, atau mengajarinya bagaimana cara berburu, ia akan merawat sebaik-baiknya sampai Merman manisnya itu tumbuh dewasa, sampai masa kawin berikutnya tiba dan ia siap memulai kehidupannya sendiri. Meree berjanji akan melakukan hal itu. Ia takkan membuat kesalahan dua kali menyangkut putra William itu.

Gelombang yang lebih besar mengayun tubuhnya naik kemudian turun kembali ketika angin juga mulai mengeringkan rambutnya yang tampak seperti serabut kasar di bawah cahaya rembulan, membuatnya berpikir semakin jauh.

Meree, juga berjanji kalau ia tidak akan menumpahkan darah William sebagaimana duyung lain lakukan pada pasangan mereka. Ia tidak akan menghisap nadi kehidupan William seluruhnya ketika ritual kawin itu selesai.

Biasanya, para pejantan akan berkewajiban memberikan cukup nutrisi sehari setelah perkawinan selesai. Seperti sepasang cincin kawin di hari pernikahan, peraturan yang tak bisa disangkal oleh spesiesnya. Sayangnya banyak pejantan yang ceroboh tidak membawa hadiah cukup untuk pasangan mereka, membawa makanan untuk si betina setelah perkawinan itu selesai. Dan biasanya juga, para betina akan menggantikannya dengan menghisap darah pejantan mereka yang kelelahan tersebut untuk mengembalikan stamina tubuh mereka. Meningkatkan ketegaran tubuh untuk segera bereproduksi. Banyak di antara betina akan menyedot habis darah pasangannya hingga tidak sedikit pejantan yang akhirnya, mati, sehari setelah perkawinan itu selesai. Dan itu sangatlah normal.

Meree, tidak akan melakukannya. Ia tahu William bukan dari bangsa mereka, dan tidak akan membawa cukup nutrisi untuknya. Separah apapun kondisinya setelah pesta kawin itu selesai, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyakiti William. Ia ingin hidup lebih lama bersama William, hidup bersama hingga musim-musim kawin berikutnya.

....

THEIR MERMAN [COMPLETE]Where stories live. Discover now