Chapter 3

12 3 0
                                    


“Hah? Gue? punya hubungan sama pasar tanah abang?” Aku menggelengkan kepalaku dengan tegas tak terima dengan pernyataan Lia yang kurang berbobot. “Mending lo periksa gue ke RSJ kalo sampe itu terjadi.”

Lia mengangkat bahunya. “Ya, gue kan cuma nanya.”

Setelah itu tak ada obrolan lagi diantara kami. Aku mulai memfokuskan diri pada buk Dini yang sedang berceloteh menjelaskan tentang resensi buku. Salah satu pelajaran favoritku yang tak bisa kuhiraukan begitu saja.

Sekilas tentangku yang mungkin saja kurang diketahui oleh orang-orang. Aku, Myesha Adeeva Atmarini. Anak kelas XI-IPS 1 bukan anak famous seperti siswi kebanyakan di sekolahku. Terkadang aku berpikir jika aku memang terlahir tak memiliki keistimewaan seperti saudara-saudaraku. Bagiku, itu tak masalah Karena aku dilahirkan oleh mama Fatma untuk menjadi gadis kuat tertabrak bajaj.

Keluarga terdekatku biasa memanggilku dengan sebutan Eca. Yah, seperti anak kebanyakan kalau masa kecil punya nama ribet, Myesha. Jadilah nama panggilanku menjadi Eca. Tetapi ketika sudah beranjak dewasa, aku mengingatkan pada orang-orang yang mengenalku agar memanggilku dengan sebutan Adeeva atau yang lebih singkat menjadi Eva. Aku pikir jika panggilanku Eca terlalu kekanakan, aku sadar jika watakku tak selembut saudara-saudaraku. Seringkali mereka mengingatkanku karena aku berbicara kasar atau tidak sopan. Namun, itulah yang terjadi, aku berbeda.

Jangan salahkan aku jika memiliki sifat dan sikap yang jauh dari kata feminim. Mamaku dulunya adalah seorang polwan cantik yang tak sengaja bertemu dengan papa yang menjadi seorang dokter muda. Yang jelas cerita mereka tidak berjalan seindah kisah film legendaries Korea, Descendent of the Sun.
Kenapa? Karena dari cerita papa yang kudengar, seminggu setelah melihat mama dan sedikit berbincang, akhirnya papa memantapkan hati untuk meminang mama. Katanya sih, urusan cinta setelah akad saja, asalkan umur tidak terlalu tua untuk merajut rumah tangga. Dan akhirnya, mereka dikaruniai empat anak. Tiga laki-laki dan aku sebagai anak terakhir sekaligus anak tunggal, dan anehnya lagi, hanya aku yang mewarisi sifat mama. Hanya saja sekarang mama lebih penyayang dan penyabar setelah berhenti menjadi polwan.

Tak terasa bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Setelah buk Dini keluar kelas, aku merapikan mejaku lalu merebahkan kepalaku di atas meja. Rasa ngantuk yang terlalu kuat tak bisa kulawan. Inilah akibat begadang bermain game.

“Li, kalau pak Rahmat dateng, bangunin gue ya?”
Ucapku sembari memejamkan mata.

Lia yang sedang memainkan ponselnya menoleh sebentar lalu mengangguk.
“Eva! Ihhh, kok tidur sih, gue kan mau rekomendasi film kore terbaru dan terbaper buat lo yang jones.”
Aku menepuk tangan Neta yang sedang menggoyang-goyangkan tanganku. Dialah Bandar film Korea yang sudah dua minggu ini menjadi kebiasaan baruku. Bagaimana tidak? Keluar rumah tak di izinkan, jadilah aku menerima tawaran Neta yang memintaku mencoba menonton film Korea.

Aku tak bisa berbohong jika film-film dari Negeri ginseng itu memang berkualitas. Entah sudah berapa film yang aku habiskan, termasuk film DOTS yang menginspirasiku untuk memaksa papa bercerita tentang kisah cintanya bersama mama.

Yah, walaupun pada kenyataanya tak sesuai dengan film yang sudah membuatku baper tak dapat dikendalikan.

***
     Sesampainya di rumah, Aku langsung bergegas ke kamarku yang berada di lantai dua. aku merebahkan badanku diranjangku. Sebelum mendarat dikasur, aku ingat jika tadi pagi kasurku berantakan akibat dari ulah bang Rifky. Tetapi ketika aku kembali masuk, kamarku tampak rapi, bersih dan terasa sangat nyaman. Saudaraku yang satu itu memang penuh tanggung jawab dan baik hati.

Setelah membersihkan diri dikamar, aku menuruni tangga, cacing diperutku sedari tadi bergoyang meminta diisi. Aku melihat makanan sudah tersaji dimeja makan, tanpa pikir panjang aku menyantap makan siangku sendiri.

My AREAWhere stories live. Discover now