chapter 13

2 0 0
                                    


Aku berjalan dengan terburu-buru memasuki kafe yang dimaksud oleh kak Adit. Jam yang sudah ditentukan untuk bertemu tak lagi ku abaikan karena aku tau, aku sangat terlambat.

Harusnya hari ini adalah hari keberuntunganku karena tak perlu repot-repot meminta izin pada papa. Sebelum berangkat, aku meminta izin pada mama yang berada di toko kue. Jelas saja mama tak akan mengizinkanku kecuali papa menyetujuinya.

Aku mencoba menghubungi papa yang masih berada di rumah sakit, tapi nihil hanya terdengar nada sambung dari seberang. Bang Arkan tak akan mungkin ada di rumah ketika sore sama seperti papa. Bang Rifky belum pulang kuliah, sedang bang Erik akan pulang ketika mendekati magrib.

Aku menghembuskan napas jengah, entah kenapa susah sekali rasanya mendapatkan izin untuk keluar sebentar. Aku duduk di sofa ruang tengah, memijat kepalaku yang terasa pening. Pulang dari sekolah aku tertidur hingga menjelang asar.

“Kenapa Ca?” Kak Julita duduk di sampingku sembari mengelus bahuku lembut. Aku menyandarkan badanku di sofa dengan lemah.

“Eca mau keluar kak, tapi papa susah ngangkat telponnya.”

“Kayaknya papa lagi sibuk banget Ca. kan, udah mau pensiun”

Aku hanya mengangguk lemah.

“Emang Eca mau kemana?”

“Mau ketemu temen kak, Eca ada hutang sama dia, jadi harus ketemu.” Jelasku dengan nada sedih. Memang benar aku memiliki hutang kepada kak Adit. Jadi kupikir tidak ada kebohongan yang harus aku sembunyikan.

“Yah, gak bisa gitu kak, entar papa marah sama Eca.”

“Eca serius kan mau ketemu temen buat lunasin hutang?”

“Bukan mau lunasin sih kak, Cuma mau bahas hutangnya aja.” Ujarku cengengesan.

“Yaudah pergi aja. Tapi inget! Jangan sampe magrib.”

Aku membelalakkan mataku tak percaya dengan kata-kata kak Julita. “Serius kak, Eca boleh keluar?”

Kak Julita hanya menganggukkan kepalanya.

“Tapi kalau nanti Eca dimarahin?”

“Entar kakak yang bilang ke papa.”
Refleks, Aku menegakkan badanku. “Terima kasih kakak ipar.”

Sungguh kakak ipar yang luar biasa cantik luar dalamnya. Aku tersenyum sumringah. Aku memeluknya sebentar lalu bergegas pergi ke kafe tempat kak Adit mengungguku.

***

Tanpa perlu lelah mencari, aku melihat kak Adit yang sedang duduk sembari memainkan pnselnya di pojok ruangan kafe. Ake segera menghampirinya lalu menarik kursi dihadapannya.

“Hai kak! Maaf banget gue telat.” aku menatapnya penuh penyesalan.

Kak Adit tampak tersenyum lembut. “Gak papa kok Va, lagian gue juga baru dateng.”

Aku mengangguk mendengar penuturannya yang sedikit menenangkanku. Aku tahu jika kak Adit sudah lama menunggu, terlihat dari dua cangkir kopi yang berada dihadapannya.

Kak Adit melihat kemana mataku mengarah lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Eh, ini..”

Aku meliriknya dengan wajah penuh rasa bersalah. “Gue bener-bener minta maaf kak. Lo tau kan, kalau gue susah banget dapet izin.”

Tanpa kusangka, kak Adit mengelus tanganku yang berkeringat di atas meja. aku yang merasa belum siap tersentak membuatnya ikut menarik tangannya kembali.

“Maaf Va, gue beneran gak ada maksud apa-apa. Gue cuma mau nenangin lo.”

Aku mengangguk percaya padanya, melihat wajahnya yang penuh rasa bersalah membuatku tak tega. “It’s oke kak.”

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Jun 03, 2020 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

My AREAWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu