"Turunin tangan lo!"

Kemarahan Theo meledak saat perempuan di depannya ini tetap melayangkan jari telunjuk ke arahnya. Theo melangkah maju mendekati Chika, tatapan keduanya sama-sama tidak kalah tajam.

Gebby meringis memperhatikan Chika yang tetap menantang Theo tanpa rasa takut. Berbeda dengannya yang hanya bisa menunduk, menggigit bibir dalamnya. Bahkan keringat saja tidak berhenti jatuh di pelipisnya.

"Aaaww."

Arsen yang melihat Theo mencengkram tangan Chika langsung berusaha memisahkan keduanya. "Lepas Yo, dia cewek."

"Karena dia cewek makanya cuma dapat ginian, kalau dia cowok udah abis dia sama gue!" ujar Theo masih belum melepaskan cengkraman tangannya.

Sementara Arsen memisahkan Theo dan Chika. Yoan berinisiatif menenangkan Gebby yang sudah menangis, merasa bersalah karena dirinya penyebab keributan yang terjadi.

Andai bisa memutar waktu, rasanya Gebby ingin kembali ke masa lalu. Di mana ia belum mengerti arti cinta, belum mengetahui rasanya sakit, saat ia belum bertemu dengan Theo.

"Bodoh, bodoh, bodoh!"

Gebby memukul kepalanya, merutuki kebodohannya telah merengek seperti anak kecil agar Chika membantunya.

Tapi, Gebby lupa kalau Chika tidak akan tinggal diam jika sahabatnya dibentak, dicaci, ataupun dihina.

"Berhenti salahin diri lo Ge. Lo gak salah." Yoan mengusap pundak Gebby lembut.

"A-aku salah Yan, seharusnya aku biarin Chika nunggu di luar."

Tak tahan melihat air mata yang sudah membanjiri wajah perempuan di sampingnya, Yoan langsung memeluk Gebby erat.

"Yan, apa aku salah karena suka sama Theo?" tanya Gebby dengan suara rendah tapi masih bisa terdengar jelas di telinga Yoan.

"Lo gak salah Ge," ujar Yoan mencoba menenangkan Gebby.

"Gue kasih saran ke lo, mending lo move on aja dari Theo. Gue yakin kok, di luar sana banyak yang sayang sama lo, Ge. Lo itu beda, lo cantik, baik, pinter. Lo berhak bahagia. Apa mau sama gue aja? Gue jamin kalau lo pacaran sama gue, gue bakal tobat jadi playboy."

Tersadar dengan apa yang terjadi, Gebby langsung memukul dada bidang Yoan.
"Ih, Yoan modus."

Yoan terkekeh, "ALHAMDULILLAH REJEKI ANAK SOLEH."

Gebby beralih menatap mereka bertiga yang juga menatap Gebby tak percaya. Baru kali ini mereka melihat Gebby berpelukan dengan seorang cowok. Apalagi, cowok itu adalah Yoan Andrea.

"Cih, Murahan!" cerca Theo menatap Gebby sinis.

Gebby memaksakan senyumnya, sudah biasa rasanya ia mendengar perkataan pedas cowok itu.

Gebby melangkah menghampiri Chika yang sedang mengelus tangannya yang memerah. "Ayo Chik. Aku gak papa kok."

"Yo, kamu gak suka, kan, makanan dari aku? Aku minta maaf, ya? Karena udah ngeganggu kamu tiap hari, udah buat kamu marah juga tiap hari. Aku janji mulai hari ini aku gak akan ganggu kamu lagi."

Gebby tersenyum lembut namun rapuh, matanya memancarkan kekecewaan, bibirnya bergetar disetiap kata.

"Makasih udah biarin aku suka sama kamu selama ini. Aku minta maaf. sekarang, gak ada alasan lagi untuk aku tetap ngejar kamu, Yo." Setelah berkata seperti itu Gebby menarik tangan Chika menjauh dari ketiganya.

"Makasih sarannya Yan." Yoan tersenyum sebagai balasan.

"Satu lagi. Itu makanan terakhir dari Gebby, kalau lo gak suka buang aja kaya biasanya. Tapi, kalau lo masih punya otak seenggaknya lo mikir gimana Gebby rela gak makan demi kasih lo sarapan," jelas Chika kemudian menyusul Gebby yang sudah berada di luar kelas.

Theo mengernyit. "Gak makan demi ngasih gue? Dia nya aja yang bodoh!"

"Emang gak punya otak kawan lo, bro."
Yoan berdecih sedangkan Arsen geleng kepala melihat sikap sahabatnya.

💌💌💌

Theo membuka perlahan kelopak matanya, pandangannya menerawang langit-langit kamarnya. Sesaat perkataan seseorang terlintas, mengusik pikirannya.

"Walaupun gue tau siapa cewek yang ngasih diary itu, gue gak akan bisa kasih tau siapa namanya, Yo. Karna gue udah janji sama dia, tapi dengan lo berada di dekat Utari, gue pastiin lo bakal ketemu sama cewek itu."

Theo terus memutar otaknya, memikirkan apa maksud perkataan Devano. Berada di dekat Utari akan membawa dirinya kepada gadis yang dulu membuatnya tersenyum? Cih, bahkan sampai sekarang ia belum juga bertemu dengan gadis itu.

Ia beranjak dari kasurnya, perlahan tapi pasti Theo membuka laci yang ada di sudut ruangan. Theo tersenyum kecut menatap benda yang selalu ia simpan. Ia meraih diary berwarna jingga yang sepertinya didesain secara khusus oleh sang pemilik, mengingat terdapat logo yang sangat asing di bagian bawahnya.

Theo tersentak ketika ponselnya berdering, menandakan seseorang menelponnya. Siapa yang menelponnya malam-malam seperti ini? Dasar pengganggu! Awas saja kalau ternyata Yoan atau Arsen yang mengganggunya.

Tanpa melihat display si penelepon Theo langsung memencet tombol hijau. Baru saja ia ingin memarahi sahabatnya karena telah mengganggu dirinya, suara seseorang sudah terlebih dulu membuat Theo bungkam.

"Buka pintu!"

Theo mengerutkan keningnya saat menyadari bahwa jelas ini bukan suara Yoan maupun Arsen.

Theo hanya diam namun ia tetap membuka pintu kamarnya.

"Kita ketemu lagi, sayang?"

💌💌💌

T
B
C

Salam sayang,
Molly❤

Jangan Datang Lagi, Cinta! Where stories live. Discover now