"Ini hak gue, dan ini bukan urusan lo," ujar Fannya dingin. Ia tak suka jika ada orang yang sok peduli ataupun mencampuri urusannya.

"Eh, pipi lo kenapa?" ucap Vano sedikit terkejut. Tangannya meraih pipi itu sambil menyelipkan beberapa helaian rambut ke telinga Fannya yang menutupi sebagian pipinya. Tampak jelas pipi itu kini memerah karena lebam.

"Ini juga bukan urusan lo," Fannya dengan sigap menepis tangan itu. Ia kembali menutupi pipinya dengan rambut yang tadi diselipkan oleh Vano.

Vano tahu jelas bahwa lebam di pipi Fannya adalah akibat tamparan, tapi ia bingung, siapa yang tega melakukan itu pada Fannya. Pacarnya? Ah Vano akan menghabisi dia jika bertemu nanti.

"Siapa yang nampar lo?" Vano masih saja bertanya, padahal ia tahu Fannya tak akan memberi tahunya.

"Sok care banget sih jadi orang," jawab Fannya jutek.

Matcha latte pesanan Fannya akhirnya tiba. Awalnya Fannya ingin menghabiskan sisa malamnya dengan meminum segelas minuman kesukaannya di cafe ini, namun karena ada Vano -pria yang belakangan ini  mengganggu hidupnya- ia memutuskan untuk pulang dan meminumnya di rumah saja.

Gadis itu mengeluarkan selembar uang hijau lalu beranjak dari meja.

"Lo mau kemana?" Vano meraih sebelah tangan Fannya, yang lagi-lagi ditepis olehnya.

"Pulang,"

"Gue anterin," putus Vano. Ia juga beranjak dari duduknya dan kini berdiri tepat di samping Fannya. Ia menggenggam sebelah tangan Fannya dan menuntunnya berjalan keluar cafe.

"Gue bisa pulang sendiri," Fannya menarik tangannya yang digenggam Vano, lalu berjalan meninggalkan pria itu. Meski selalu ditepis, Vano tak peduli, ia tetap mengikuti Fannya yang melangkah tepat di depannya.

"Nya, lo itu cewek, dan ini udah larut banget. Lo harus gue anterin," ucap Vano ketika telah berada di luar cafe.

Fannya menghentikan langkahnya, "Rumah gue dekat, dan lo nggak usah sok peduli," Fannya masih saja ketus. Ia melanjutkan langkahnya yang tadi sempat dicegat oleh Vano, dan lagi-lagi meninggalkan pria itu.

Bukan Vano namanya jika gampang menyerah, ia tetap membuntuti Fannya. Ia berjalan tepat di belakang Fannya dan membiarkan ninja merahnya terparkir rapi di halaman cafe, ia hanya ingin memastikan gadis itu selamat hingga tiba di rumah.

Fannya tahu Vano masih mengikutinya, tapi ia tak peduli. Ia terus saja berjalan meski sesekali Vano mangajaknya bicara.

"Nya, lo tau nggak, kenapa gue nggak mau jalan di samping lo?" Vano terus saja berujar, meski ia tahu, kemungkinan untuk Fannya menyahutinya hanya sedikit.

"Kenapa?" tanya Fannya pelan, Vano tak menyangka dari sekian banyak pertanyaan yang ia ajukan, baru kali ini yang disahuti oleh Fannya.

"Karena kalo lo jatuh, gue bisa tangkap dari belakang," katanya, entahlah seperti ada nada kesungguhan di sana.

Fannya terkekeh mendengar ucapan Vano, ternyata benar apa yang pernah diceritakan Luna, bahwa Vano adalah cowok playboy, sangat jelas dari caranya berbicara pada Fannya, si wanita yang baru ia kenal 2 hari yang lalu.

"Kenapa ketawa, gue serius loh," Vano terheran melihat reaksi Fannya yang di luar dugaan. Karena jika kata-kata itu ia ucapkan ke wanita lain, wanita itu pasti akan senyum-senyum tak jelas dengan pipi yang bersemu. Tapi Fannya malah tertawa keras.

"Ga papa," jawab Fannya sambil menetralkan tawanya.

"Lo ngapaian ke cafe larut malam kayak gini? Apalagi besok hari senin, nyokap bokap lo nggak marah?" Vano mengalihkan pembicaraan, nada suaranya masih sama, serius. Tapi Fannya masih saja bergeming, ia tetap diam. Ia tak ingin harus berbagi cerita kepada orang yang baru ia kenal.

"Ya udah kalo lo nggak mau jawab. Lo mau tau nggak kenapa gue keluar malam?" Vano masih saja berujar sendiri, dan Fannya juga masih mengabaikannya. Vano terdiam beberapa detik, ia masih setia berjalan di belakang Fannya, yang katanya tak ingin seiring sebab ingin menjaga gadis itu.

"Gue nggak betah di rumah. Bokap sakit, nyokap malah sibuk kerja." sambung Vano lagi, "uang banyak mah nggak bikin bokap sambuh," titahnya sambil menendang kecil batu-batu kerikil yang ada di depannya.

"Bodoh! Bokap lo berobat kan? Nah itu butuh biaya, dan sekarang lo bilang uang nggak nyembuhin bokap lo? Otak kalo ada ya di pake, jangan jadi pajangan doang," jawab Fannya pedas, ia merasa sedikit tersentil dengan kata-kata Vano yang seolah memojokkan ibunya. Fannya sepertinya tak berniat sedikitpun menyamai langkahnya dengan Vano.

"Lo nggak ngerti Nya. Uang emang segalanya, apapun bisa dibeli pake uang, tapi kasih sayang nggak bakal bisa dibeli pake uang," jawab Vano tegas. Ia sendiri heran, mengapa dengan gampangnya ia menceritakan masalah keluarganya kepada orang yang baru ia kenal. Jarang-jarang Vano seperti ini.

"Iya, gue nggak ngerti soal kasih sayang. Kasih sayang keluarga gue minim banget, soalnya." jawab Fannya, matanya mulai berkaca. Pembahasan soal keluarga selalu mengingatkannya pada ibu, wanita tua yang rela menahan sakit demi menghidupi keluarganya, dan ini selalu membuat Fannya menangis.

Fannya mengusap beberapa tetes air mata yang berhasil keluar, padahal ia sudah menahannya. Mungkin saja air mata itu telah penuh karena terus ditahan dan kini ia ingin meluap.

"Gue nggak maksud gitu Nya," ujar Vano, ia merasa tak enak akibat ucapannya.

Langkah Fannya terhenti, ia lalu berbalik badan. Melihat ke arah pria yang masih setia di belakangnya, "Itu rumah gue. Dan sekarang, silakan pergi," ujar Fannya menatap Vano sambil mengayunkan tangannya, isyarat mengusir.

"Lo masuk, dan gue bakal pergi. Gue cuma mau mastiin lo selamat sampai ke dalam," jawab Vano serius yang diangguki oleh Fannya.

Gadis itu lalu berjalan meninggalkan Vano di depan pagar rumahnya, tanpa mengucapkan terimakasih maupun ucapan selamat malam. Fannya berjalan ke arah jendela kamarnya yang sedikit merenggang karena tadi tidak ia tutup. Ia masuk lewat sana dengan memanjat, karena pintu utama telah terkunci, dan ia tidak membawa kunci cadangan.

Vano yang menyaksikan itu tersenyum, hatinya sedikit menghangat melihat sikap Fannya yang jutek namun menggemaskan. Kata-kata gadis itu memang tajam, tapi Vano sedikit terhibur, karena baru kali ini ada seseorang yang mengatakannya bodoh. Ia melambaikan tangannya pada Fannya ketika gadis itu ingin menutup jendela sembari menatap jalanan. Fannya tak membalasnya, tersenyumpun tidak. Ia segera menutup jendela, sehingga sosok Vano tak lagi tampak.

===

Setelah mengantar Fannya pulang, Vano kembali ke cafe untuk mengambil ninjanya. Awalnya, Vano ingin menenangkan pikirannya di cafe tersebut dengan meminum segelas kopi hangat, tapi kini ia justru berubah pikiran. Ia memilih pulang ke rumah, karena sikap Fannya tadi sudah cukup menetralkan pikirannya yang sedikit berantakan.

Ia mengendarai ninja merahnya. Menyusuri setiap lekuk jalan yang kini sepi. Laju motornya sedikit di atas rata-rata. Vano sesekali tersenyum mengingat kejadian tadi, ia merasa ada satu tarikan yang menarik hatinya untuk mengenal Fannya lebih jauh. Entah itu hanya sekedar rasa penasaran yang akan hilang dengan sendirinya, atau justru rasa yang akan melibatkan keduanya pada pertemuan-pertemuan tak terduga berikutnya.

"GRAVITASI ITU ADA"
________

Halloo teman onlen kuh, pa kabar? Moga sehat yaaakk, h1h1h!
Vote & comment jan lupa yup, bay bay💋

Salam cinta author
Bunga Nafandra 💛

Gravitasi HatiWhere stories live. Discover now