Part 1

136 55 44
                                    

Plak

Suara tamparan itu lagi-lagi terdengar, ini bukan yang pertama, tapi ini yang kesekian kalinya. Pria dengan tubuh tinggi kekar itu masih saja berani melayangkan tangannya di pipi wanita paruh baya yang kini tengah bersimpuh di hadapannya.

"YANTO, JANGAN SENTUH IBU GUE," ucapnya lantang, gadis yang masih mengenakan seragam SMA itu kini berlari menghampiri wanita yang tengah bersimpuh sambil menangis. Gadis itu merangkulnya.

"Dasar anak kurang ajar, saya ini ayah kamu, jadi anak tu yang sopan,"

Plak

Ikat pinggang yang tadi melilit di pinggang pria itu, kini dengan mulusnya mendarat di bagian lengan kanan Fannya.

"Anda bilang apa? Ayah? Ayah macam apa anda? Apa ada ayah yang dengan entengnya memukul anaknya? Apa ada ayah yang setiap hari memukul istrinya? Anda tak pantas disebut ayah," ujar Fanya berteriak, air matanya mengalir. Ini bukan air mata akibat sakit di lengannya, tapi air mata sakit melihat wanita yang ia cintai lagi-lagi mengeluarkan air mata.

"Kamu membantah ya?,"

Plak

Amarah pria itu memuncak. Sakali lagi, ikat pinggang itu mengenai sisi lengan Fannya. Pria itu kini menjauh, meninggalkan gadis dan ibu yang sama-sama menangis.

"Ibu ngga papa? Bu, Fannya kan udah sering bilang, kalo dia kasar sama ibu, ibu teriak, atau ibu telfon Anya. Anya nggak suka kalo ibu disakitin terus sama dia," Fannya terisak, sakit di lengannya tak sebanding dengan sakit saat melihat ibunya menangis.

"Ibu nggak mau ngelibatin kamu Nya, ibu nggak mau kamu sakit. Coba sini ibu liat tangannya," ucap ibu yang kini menghapus air matanya, ia mencoba untuk tak terlihat rapuh di depan putri tunggalnya itu.

"Tangan Anya nggak papa."

Kejadian seperti itu sudah biasa bagi keluaga Fannya, memiliki ayah yang bisa dikatakan tak berotak. Tamparan dan pukulan bukan hal yang menakutkan lagi bagi gadis itu, bahkan hampir tiap hari ia merasakannya.

Ibu, dia adalah wanita yang selalu ada untuk Fannya. Ia tak pernah ingin melibatkan Fannya dengan urusan yang berhubungan dengan suaminya, Yanto.

Setau Fannya, ibunya menikah tidak karena cinta, tapi karena perjodohan. Awalnya mereka berharap akan ada cinta seiring waktu berjalan, namun semakin ke sini bukan cinta yang hadir, justru bencana yang akan merusak keluarga itu sendiri.

Bisa dikatakan Fannya membenci Yanto, karena dari kecil ia tak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah, bahkan Fannya pernah menyuruh ibunya untuk menceraikan Yanto, namun entah alasan apa yang membuat ibunya selalu saja menolak dan bertahan, tapi yang pasti alasan itu bukan "cinta".

"Bu, Fannya nggak kuat tiap hari harus kayak gini. Anya pengen punya kehidupan juga kayak teman-teman yang lain, Anya pengen kita bahagia, bahagia tanpa ayah," Fannya diam, lalu beberapa detik kemudian ia melanjutkannya, "ah bukan ayah, tapi Yanto. Anya pengen kita hidup tanpa Yanto." ucapnya yakin.

"Nya, nggak boleh gitu, gimanapun dia tetap ayah kamu," entah kenapa ibu selalu saja membela dia.

"Nggak, Anya nggak pernah anggap dia ayah. Bu, Anya nggak suka liat ibu tiap hari dipukulin. Anya mau kita punya hidup baru, kita buka lembaran baru. Anya pengen kita pindah," Fannya menggenggam tangan ibunya sambil tersenyum, berusaha meyakinkanya. Namun sang ibu hanya diam, tak ada balasan.

===

"Nya,"

"Hm,"

"Lo kenapa sih? Diem aja dari tadi, ada masalah?" tanya Airin. Airin Rahmalia namanya, ia teman sebangku sekaligus sahabat Fannya.

"Si Yanto ya?" sambung Luna. Luna juga teman Fannya, mereka bertiga bersahabat.

"Iya, dia mukulin ibu lagi," jawab Fannya, ia mengepalkan tangannya.

Airin Rahmalia, ia gadis berambut sebahu, teman sebangku Fannya. Ia tahu semua hal tentang Fannya, begitupun sebaliknya. Sifatnya tak jauh beda dengan Fannya, cewek pecicilan yang sering masuk buku kasus.

Luna Asyila, gadis cantik si ratu SMA Nusa Jaya. Ia cantik, pintar, plus tajir. Luna anak 11 IPA 1, yup ia tak sekelas dengan Fannya maupun Airin. Meski siswa pintar, ia tak ada bedanya dengan Fannya dan Airin, bolos adalah kebiasaan mereka, buku kasus juga sudah langganan.

Airin dan Luna adalah sahabat Fannya, hanya mereka berdua yang tahu kehidupan keluarga Fannya sesungguhnya. Hanya mereka yang tahu bagaimana luka di setiap kehidupan Fannya, selebihnya hanya tahu bahwa Fannya adalah siswa nakal tanpa beban.

"Gue jadi pengen ngebunuh si Yanto deh," lanjut Fannya.

"Eh bentar, tangan lo kenapa Nya?" Luna meraih tangan kanan Fannya, dan melihat memar di sana.

"Kayak ngga tau aja lo, siapa lagi kalo bukan si Yanto anjeng," jawab Fannya sambil menarik tangannya. Ia menarik nafasnya perlahan, Fannya amat benci situasi seperti ini, kejadian tadi pagi benar-benar mengganggunya.

"Daripada lo manyun-manyun kek gini, mending ke lapangan yuk. Hari ini kan sekolah kita main basket ngelawan SMA 47. Sapa tau ada cogan," ujar Airin sambil senyum-senyum tak Jelas.

"Nah, saran bagus tuh, kuy lah Nya," Luna tampak bersemangat.

"Males ah, cowo semua," ujar Fannya.

"Kuy lah Nya. Please deh, nggak semua cowo tu kayak si Yanto, harus sampe kapan lo kayak gini? Ngehindar terus setiap ada cowo," Airin kini telah beranjak dari duduknya, ia menarik lengan Fannya supaya ikut berdiri.

Fannya akhirnya pasrah, ia ikut saja dengan kedua temannya itu, meskipun ia tidak suka.

Mereka bertiga memasuki area lapangan SMA Nusa Jaya. Hari ini adalah hari Sabtu terakhir di bulan Februari, di mana itu adalah jadwal wajib SMA Nusa Jaya untuk melakukan tournament basket dengan sekolah lain. Di lapangan sudah banyak siswa yang mengenakan seragam basket, juga ada cewe-cewe alay yang teriak di tepi lapangan menyemangati jagoannya.

Ah, Fannya tak suka situasi ini.

Mereka bertiga mulai menyaksikan pertandingan basket tersebut. Bahkan Luna dan Airin juga ikut meneriaki jagoan mereka. Fannya yang tak nyaman, mulai melangkah menjauhi area pertandingan, meninggalkan teman-temannya.

Fannya berjalan menuju kelasnya, menyusuri koridor yang kini sunyi. Kelas-kelas yang ia lalui tak berisi, semuanya tengah menonton pertandingan basket di lapangan.

===

Vano masih mengenakan seragam basketnya, ia berjalan agak tergesa menyusuri koridor sekolah.

Ini bukan sekolah Vano, jadi ia sedikit kebingungan mencari toilet. Hari ini sekolahnya mengikuti tournament basket, dan SMA Nusa Jaya adalah tuan rumahnya.

Bug

Tanpa sengaja ia menyenggol bahu seorang gadis yang berlawanan arah dengannya.

"Aw," gadis itu memegang lengannya "lo kalo jalan pake mata dong,"

"Lah, bukannya jalan pake kaki?" jawab Vano dengan wajah bingungnya.

Gadis itu tak menghiraukan, ia melanjutkan jalannya dan meninggalkan Vano yang masih cengo.

"Woi, tunggu. Toilet sebelah mana?" teriak Vano yang tak digubris olehnya. Gadis itu terus saja melangkah tanpa menoleh.

"Sombong amat jadi cewek, gua jadiin pacar mapoos lu," Vano mengoceh sambil terus melihat punggung gadis itu yang perlahan menjauh.

===

Gravitasi HatiWhere stories live. Discover now