Part 4

93 38 33
                                    

Malam sudah larut, tapi mata legam Fannya masih belum dapat terpejam. Pipinya kembali melebam akibat tangan kekar sang ayah. Ah Fannya tak ingin menyebutnya ayah, najis katanya.

Kekasaran ayahnya memang sudah rutinitas. Seperti malam ini, kejadian itu baru saja berlalu sekitar 15 menit yang lalu. Dan kini pria bajingan itu kembali meninggalkan rumah seperti bisanya setelah melampiaskan amarahnya pada Fannya dan sang ibu.

Fannya mengelus pipi lembutnya yang kini memerah. Terasa sedikit perih di sana, tapi ia memutuskan untuk tak membuang air matanya sia-sia. Tak ada yang spesial dari weekendnya kali ini, dan sebelumnya juga begitu, hanya dihiasi pukulan dan alunan kata-kata kasar, benar-benar langka dibanding keluarga normal pada umumnya.

Gadis itu beranjak dari kasur minimalisnya, ia mengambil sweater abu-abu yang tergantung di balik pintu, lalu mengenakannya. Entah apa yang mendorongnya melakukan hal ini, ia keluar rumah lewat jendela kamar. Fannya tahu ini tak baik bagi seorang gadis SMA keluar larut malam seperti ini. Melihat hari sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, ia yakin bahwa ibu akan akan sangat khawatir jika tahu Fannya tak ada di kamar. Tapi bayangan ibu tetap tak mengurangi niatnya untuk keluar rumah.

Hawa dingin malam sangat kentara menembus sweater yang ia kenakan. Meski mengenakan sweater yang cukup tebal, rasa dingin itu tetap saja menyentuh kulitnya. Gadis itu terus melangkah menyusuri jalan raya yang kini amat sepi. Ia sesekali menendang kaleng-kaleng minuman yang ia temui di jalanan.

Fannya kini memasuki sebuah cafe yang buka 24 jam dekat rumahnya. Sebelum mendorong pintu masuk, ia melepaskan ikatan rambutnya. Membiarkan rambut panjang itu terurai, ia juga menutupi pipi lebamnya dengan helaian rambut tersebut.

Gadis itu menarik napasnya perlahan sebelum menasuki cafe. Ia mendudukkan dirinya di sebuah meja dekat jendela di pojok ruangan. Hanya ada beberapa pengunjung di sini, mungkin karena hari yang memang sudah sangat larut. Ia lalu memanggil seorang pelayan cafe dan memesan segelas matcha latte, minuman favoritnya.

Sembari menunggu pesanan, ia memainkan ponselnya. Ada beberapa notifikasi dari operator, Luna, dan juga Vano. Ia membacanya satu-persatu, namun tak ada niatan untuk membalas. Fannya hanya mengabaikan pesan tersebut, karena menurutnya tak penting.

Pandangan Fannya tiba-tiba beralih ke arah pintu masuk, ada seseorang di sana. Ia tampak merutuki kehadiran pria tersebut, karena ia yakin orang itu tak akan membiarkannya tenang. Fannya kembali memandangi handphonenya dan bersikap seolah tak ada siapa-siapa di sana, ia tak ingin malamnya terganggu.

"Fannya? Lo ngapain di sini?" benar saja, pria berjaket denim itu telah berdiri di depan meja Fannya. Tanpa izin, ia menarik sebuah kursi di hadapan Fannya lalu duduk di sana.

"Itu masih ada meja kosong," ujar Fannya sambil menunjuk meja yang berjarak agak jauh darinya, ia tak menggubris petanyaan pria itu.

"Gue maunya duduk di sini." jawab pria itu datar. Raut wajahnya kali ini berbeda dari pertemuan sebelumnya. Ia tampak lebih serius, dan sedikit murung.

Entah kenapa, Fannya tak membantah. Ia membiarkan saja pria itu duduk di depannya.

Vano kini mengalihkan pandangannya ke jendela, ia menatap ke arah langit hitam yang malam ini tanpa bintang. Pandangannya kosong, semacam ada beban yang berusaha ia tutupi.

"Lo ngapain malam-malam ke sini?" ujar Vano yang tak beralih menatap langit.

"Beli minum," jawab Fannya seadanya.

"Lo tau kan ini udah jam berapa? Nggak baik cewek keluyuran malam kayak gini," kini Vano menatap manik Fannya lekat. Gadis itu merasa tak nyaman ketika ditatap, ia mengalihkan pandangannya ke arah jalanan.

Gravitasi HatiWhere stories live. Discover now