Dua Puluh Satu

107K 10.8K 747
                                    

Dua hari terasa seperti dua tahun bagi Guntur.

Akad nikah sudah di depan mata, puluhan keranjang seserahan yang berisi berbagai macam barang telah dirangkai begitu cantik hingga memenuhi rumah megah keluarga Pranaja. Sama seperti di rumah Diandra, Guntur juga merasakan betapa ramai dan sesak rumahnya dipenuhi keluarga besar. Guntur tidak menyangka jika sanak saudara yang tinggal diluar negeri rela terbang ke Indonesia demi melihatnya menikah.

Guntur memang anak tunggal, namun ia memiliki enam sepupu dari bibi dan paman yang merupakan saudara kedua orang tuanya. Dan dari keenam sepupu tersebut, hanya dua orang yang belum menikah, Guntur dan Bram, anak dari tantenya. Namun Bram masih berusia dua puluh delapan, jadi rencana untuk menikah belum terpikirkan oleh anak itu.

Pintu kamar Guntur terbuka spontan, membuat pria berumur 33 tahun itu terlonjak akibat kaget. Dia pun mengelus dada saat melihat Mama tersayangnya, Nyonya Ajeng yang paling berkuasa dirumah ini sedang panik oleh sesuatu.

"Ada apa, Ma?" tanya Guntur sembari membereskan berkas-berkas kerjaan yang berserakan diranjang. Dia tidak diizinkan lagi untuk bekerja dikantor mulai H-5.

Ajeng mengibas rambut sebahunya, "itu lho, Mama rasa tiga puluh lima keranjang buat seserahan masih kurang, tapi besan malah bilang kebanyakan. Serius Diandra cuma minta segitu?"

"Diandra malah bilang tujuh keranjang saja Ma," sahut Guntur.

"Apa?!" Ajeng terkejut dengan gaya hiperbola, "ya ampun! Apa kata tetangga kalau keluarga kita cuma kasih tujuh ke besan?" Ia mendekat ke arah ranjang dengan langkah riangnya. Meskipun umur Beliau sudah lebih setengah abad, tetapi Guntur bersyukur jika orang tuanya masih lincah seperti anak muda.

"Calon istri kamu bener-bener sederhana ya, Mama salut ih. Untung kamu gak milih dari dua puluh wanita pilihan Papa waktu itu. Amit-amit Mama kalau nerima mantu kayak mereka. Belum apa-apa udah ngomongin harta waris." Ajeng memukul lengan Guntur dengan heboh. Kebiasaan Mama kalau lagi ngomongin orang yang dia tidak suka.

Guntur tersenyum menanggapi pujian Ajeng untuk calon istrinya, "padahal dulu Mama juga ragu sama Diandra kan?"

Sekali lagi, Guntur menerima pukulan ringan dilengannya.

"Iyalah. Mama kaget kalo Diandra masih 18 tahun! Mama takut kamu dicap buruk oleh orang-orang. Mama gak mau anak Mama satu-satunya difitnah yang tidak-tidak," kata Ajeng sembari mengusap kepala Guntur dengan sayang.

"Mama." Guntur memeluk Ajeng dan mengusap punggung ibunya, "Mama gak perlu khawatir soal gosip tetangga. Lagipula aku sudah dewasa. Ucapan miring gak mempan lagi buat aku."

Guntur mendengar isakan lembut dari punggungnya yang berarti Ajeng sedang menangis haru. Mungkin inilah saat-saatnya orang tua merasa sedih dan kehilangan saat anaknya akan menikah, akan jauh dan berpisah dari mereka. Guntur memahami perasaan itu. Apalagi saat melihat Giga yang selalu sensi padanya beberapa hari terakhir. Ia seperti dimusuhi oleh mertua sendiri.

"Bagi Mama, kamu masih anak kecil yang butuh perhatian. Mama gak pernah mandang kamu seperti pegawai kantor menganggap kamu, bos galak nyeremin."

Ajeng dan Guntur tertawa bersama mendengar lelucon itu. Hanya kepada Diandra dan keluarga kecilnya inilah Guntur menjadi dirinya sendiri. Dia tak perlu memasang dinding pembatas yang melarang orang asing untuk mengusik hidupnya. Dia bersikap apa adanya.

"Mama juga suka kepribadian kamu setelah bertemu Diandra. Kamu jadi tidak sekaku dulu. Kamu sering tertawa dan bertingkah konyol seperti remaja kasmaran." Ajeng melepaskan pelukan hangat mereka sambil terkikik senang.

"Kapan aku begitu?"

"Waktu pulang dari rumah Diandra kemarin lusa contohnya," jawab seseorang di depan pintu.

Jodohku Om-Om!! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang