Empat Belas

107K 10.8K 1.1K
                                    

Untuk kedua kalinya, Diandra datang ke kantor Guntur. Bedanya, hari ini dia datang saat jam makan siang tiba, bukan seperti waktu itu, seluruh pegawai sedang bubar untuk pulang ke rumah masing-masing. Satu lagi yang jadi perbedaan kedatangan Diandra kali ini adalah kotak tupperware bersusun warna ungu yang dia bawa sebagai bahan rayuan supaya Guntur mau mengundur jadwal pernikahan.

Guntur pasti luluh dengan bekal ini, pasti, secara Diandra yang memasaknya sendiri. Lauk-pauknya memang sangat sederhana—nasi putih, telur dadar pedas, tahu goreng, plus sambal terasi sachet yang dia beli diwarung—Diandra yakin jika Guntur akan bangga padanya karena bisa memasak. Ya walaupun dia hanya menggoreng telur dan tahu saja. Setidaknya, dia tidak kalah dari gadis yang cuma bisa merebus air bukan?

"Oh Eneng Diandra. Mau ketemu Pak Guntur?" sapa Pak Bejo, salah satu staf keamanan alias satpam yang menyapa Diandra ketika gadis itu memasuki lobi.

"Iya, Pak. Hehe, aku masuk dulu yaw. Dah," balas Diandra sambil melambaikan tangan. Dia tidak menyangka kalau satpam di gedung perkantoran ini sampai kenal dengannya. Apa mungkin Guntur secara tak langsung mengumumkan kepada semua pegawai kalau dia adalah pasangannya? Hemm mungkin saja sih.

Sama seperti satpam tadi, mbak-mbak resepsionis yang Diandra hitung ada tiga orang di depan meja konter itu tersenyum ramah menyapanya.

"Siang Mbak, mau ketemu Pak Guntur ya?" kata resepsionis bernama Sarah yang Diandra kira adalah resepsionis senior. Pembawaannya beda, tidak angkuh dan auranya hangat. Melihat wajah wanita berumur tiga puluhan itu membuat orang tersenyum tanpa sadar. Wajahnya itu lho, kalem.

Tapi kenapa dia panggil aku Mbak ya? Padahal kan aku lebih muda dari dia?, batin Diandra.

"Iya Mbak. Dia ada kan?" tanya Diandra. Kan jadi sama-sama panggil Mbak. Ah bodo' amat deh.

Tapi, tampaknya kata ganti 'dia' itu cukup aneh di dengar karena dua orang resepsionis selain Sarah jadi salah tingkah. Apa panggilan itu terlalu kurang ajar untuk Guntur? Gak tuh.

"Ada Mbak. Kebetulan kata sekretarisnya jadwal Pak Guntur ada dikantor sampai jam dua. Pak Guntur juga berpesan kalau Mbak Diandra ke sini, langsung naik ke atas saja," terang Sarah dengan masih senyuman formal di wajah.

"Lho kok Guntur bisa tau aku dateng kemari?" Diandra bingung. Padahal dia ingin menjadikan kunjungan ini sebagai kejutan.

Sarah tersenyum lebih lebar, "mau saya antar ke ruangannya, Mbak Diandra?" Alih-alih menjawab pertanyaan Diandra, Sarah justru hendak keluar dari konter demi mengantar Diandra ke lift.

"Eh gak usah Mbak. Aku bisa ke sana sendirian kok. Lift-nya di sana kan yang pintunya warna emas? Baik. Makasih ya!" Diandra menyerocos cepat sambil meninggalkan meja resepsionis dengan langkah riangnya. Ia bahkan tak lagi melihat ekspresi Sarah dan kawan-kawan.

Saat memasuki lift premium khusus CEO, entah kenapa jantung Diandra mulai menari dengan latar musik rap—kencang dan intens. Dia bercermin di pantulan lift dan menahan dada seolah ingin meredakan detak jantungnya. Namun sayang, semakin mendekati lantai teratas, Diandra semakin gugup dan gelisah.

Duh, padahal baru tiga hari dia gak ketemu Guntur. Mana mungkin kangen?!

Senin, Selasa, dan Rabu... ya tiga hari itu Guntur pergi ke Kalimantan untuk mengunjungi pabrik sehingga komunikasi yang terjalin hanya melalui ponsel saja. Itu juga bukan chat, melainkan video call selama sepuluh menit sebelum tidur. Hah. Lelah hati Diandra menghadapi orang dewasa yang gak hobi chit chat.

Sesampainya dilantai eksekutif khusus CEO, Diandra disambut oleh suasana hening bak kuburan di malam hari. Tapi itu tak jadi masalah karena Diandra tahu Guntur ada diruangannya saat ini. Ia pun melangkah santai sambil membawa kotak bekal dan melewati meja sekretasis yang kosong—tidak ada orang maksudnya. Entah kemana wanita cantik yang biasa duduk di sana, Diandra tak mau ambil pusing. Mungkin Mbak-nya lagi makan siang. Ini kan memang waktunya.

Jodohku Om-Om!! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang