Pikirannya teralihkan pada suara dering ponsel yang tak juga berhenti. Nami meraih tasnya yang gergeletak begitu saja di atas lantai. Merogoh isinya, mencari dimana kira-kira keberadaan benda pipih berwarna rose gold itu?

Tertera nama kontak 'Ayah' saat Nami berhasil menemukan ponselnya.
Menarik napas dalam, Nami mengusap layar benda pipih itu, membawanya ke dekat telinga, menjawab panggilan.

Ini kali pertama Ayahnya mengabari setelah dua minggu pernikahannya. Nami sangat merindukan suara sang Ayah. Apalagi ketika suasana hatinya yang sedang gundah gulana seperti sekarang, Ayahnya selalu hadir di saat yang tepat.

"Assalamualaikum, Ayah?"

"Waalaikumsalam, Nak. Gimana kabar kamu?"

Nami tersenyum, betapa ia merindukan suara menenangkan dari sang Ayah ini. "Nami, baik Ayah. Ayah gimana? Kenapa baru ngabarin sekarang? Nami kangen..."

Di sana Ayah terkekeh. "Maaf, maaf. Ayah cuma nggak mau ganggu waktu kamu sama Fahmi ajah. Jadi Ayah baru ngabarin sekarang. Gimana hubungan kalian?"

Naik turun seperti roler coster, ingin Nami menjawab seperti itu. Tapi tidak mungkin 'kan? Itu hanya akan membuat Ayahnya khawatir.
"Baik-baik ajah kok Ayah.."

"Alhamdulillah, kalau gitu. Kamu lagi apa sekarang? Fahmi dimana?"

"Lagi duduk ajah di kamar. Kak Fahmi, masih di rumah sakit."

Nami sibuk memainkan jari-jari kakinya, hatinya meringis sebab telah berbohong tentang keberadaan Fahmi dari sang Ayah.

Namun Nami bersyukur, karena dapat mendengarkan suara Ayahnya saja sudah bisa membuat beban dipundak Nami terangkat meski sedikit. Suara Ayahnya yang menenangkan membuat Nami merasa lebih lega.

Mereka berbincang bersama. Ayah bertanya banyak hal, dari bagaimana kehidupan Nami setelah menikah, sampai bagaimana keadaan Fahmi saat ini.
Semua Nami jawab dengan apa adanya. Ia jujur tentang keadaan Fahmi yang masih sering terlihat murung, dan kehidupannya yang lebih terasa nyaman. Sebab, tak usah lagi pusing memikirkan lain sebagai hal. Semua sudah Fahmi yang tanggung. Dan ia amat bersyukur akan hal itu.

Dan percakapan mereka sore itu harus terhenti saat Nami ingat bahwa ia belum melaksanakan shalat ashar.

Nami pamit lalu menutup sambungan telepon. Gadis itu beranjak, menyimpan ponselnya ke sembarang tempat di atas kasur, berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Ia butuh tempat mengadu, akan segala kegundahan hatinya saat ini. Dan hanya kepada Allah lah, tempat terbaiknya untuknya bekeluh kesah.

🍂🍂🍂


Kak Fahmi: Assalamualaikum. Aku ada tugas keluar kota. Maaf baru mengabari. Ponselku tadi habis baterai, dan aku baru ingat siang tadi kalau ada tugas hari ini.

Kak Fahmi: Hati-hati di rumah. Kemungkinan dua tiga hari aku nggak pulang. Kunci pintu selalu walau nggak keluar rumah.

Nami menatap pesan yang ia terima dari Fahmi. Pria itu baru mengabari ketika malam tiba. Nami menghela napas, syukurlah Fahmi masih mau memberinya kabar dan tidak membuat Nami berlarut-larut dalam perasaan khawatir dan bingung.

Jarinya mulai bergerak, mengetikkan sebuah jawaban.

Nami: Waalaikumsalam. Iya, Kak. Baik-baik di sana.

Nami: Aku juga mau minta maaf, karena udah bikin suasana nggak enak tadi pagi..

Kak Fahmi: Bukan apa-apa. Kamu juga baik-baik di sana.

Nami: Ya..

Dan setelahnya, Fahmi resmi meninggalkan aplikasi pesan tersebut.

Gadis itu menengadah ke atas langit. Ia tengah berada di balkon, duduk di atas sofa berwarna abu ini, ditemani segelas coklat hangat yang uapnya mengepul ke udara.
Sisa hujan siang itu masih terasa, airnya menetes dari dedaunan bunga-bunga yang sengaja diletakkan di sana. Wangi khas dari hujan menguar ke dalam indera penciuman. Membuat hatinya merasa tentram.

Walau memiliki alergi dingin, namun Nami suka hujan. Suka dengan suasana tenang yang tercipta, suka dengan harumnya, suka dengan suara rintiknya yang membuat perasaan damai.

Nami merapatkan selimutnya, menatap langit gelap tanpa bintang malam itu.
Kepergian Fahmi tak berpengaruh banyak bagi Nami. Selama mereka menikah, intensitas pertemuan mereka memang sudah jarang. Jadi ketika Fahmi pergi seperti saat ini, rasanya Nami sudah terbiasa.

Terbiasa akan kesendirian. Walau memuakkan.

Akankah seperti ini sampai seterusnya?
Aku yang masih menyimpan sakit dari masalalu.
Dia yang masih menyimpan kenangan yang telah usai.
Aku yang masih membawa masalah yang tak jua selesai
Dia yang masih menutup hati dan sulit berbagi cerita

Akan sampai kapan?

Ya Allah, ku serahkan semua padaMu.
Aku percaya, semua ini adalah yang terbaik dariMu.
Maka hamba mohon, selalu kuatkan hati hamba, ikhlaskan hati hamba dalam menerima semua takdirMu.
Jangan biarkan setan kembali memperdayakan hamba, dan malah membuat hamba terjatuh dalam lubang yang sama.

Laa hawla wa la quwwata illa billaah..

1 Juli 2019

Takdir Dua Hati | END ✓Where stories live. Discover now