4 [Sahabat Nami]

23.8K 1.1K 13
                                    

Dering ponsel Namira membuat gadis itu yang tengah sibuk mengeringkan rambutnya berhenti sejenak. Ditatapnya layar benda pipih itu dengan bingung, di sana tertera nama 'Tesa' memanggil.

Namira mendengus, tiba-tiba merasakan perasaan tidak enak atas panggilan dari sahabat super resenya itu. Agak malas, Namira meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur, mengusap tombol hijau lalu menempelkan ponsel itu tepat di telinga.

"Assalamualaikum." Sapa Nami tak antusias.

"Waalaikumsalam, Nami?! Lo dimana? Kenapa pas gue ke kosan lo, lo nggak ada? Gue cari kemana-mana nggak ketemu? Lo nggak diculik 'kan? Lo nggak kabur buat gantung diri karena Bos lo marah-marah terus sama lo 'kan? Duh.. Namira lo dimanaaaa???"

Nami meringis, menjauhkan ponselnya dari telinga, takut gendang telinganya pecah sebab suara cempreng milik Tesa yang berteriak di telinganya.
Ia mendengus, lalu kembali menempelkan benda pipih itu ke telinganya setelah memastikan Tesa tidak lagi berteriak-teriak di luar sana dengan suara macam toa.

"Ck, lo tuh ya? Kebiasaan deh, nggak bisa emang biasa ajah ngomongnya? Suara lo bikin telinga gue  budek tau gak?!" Protes Nami kesal.

"Lagian lo bikin gue khawatir! Lo dimana sekarang?" Suara Tesa yang cempreng dari sananya itu sedikit mengecil volumenya.

Nami menghela napas lelah, menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, melempar handuk yang tadi tertanggal dipundaknya ke sembarang tempat. "Gue di rumah Ayah gue,"

"HAH!" Lagi, suara macam toa milik Tesa hampir menulikan telinganya. Nami memutar bola mata, dongkol dengan sikap Tesa yang selalu berlebihan dalam berbagai hal.

"Apa, Apa? Gua nggak denger!" Suara Tesa terdengar tidak percaya, mengundang decakan dari Nami kembali.

"Lo itu bolot apa budek sih? Gue di rumah Ayah, Tesa. Di rumah Ayah!"

Memang, berbicara dengan sahabat resenya ini tidak akan pernah bisa lepas dari decakan dan umpatan. Kelakuan Tesa yang sembrono dan cerewet selalu mengundang dongkol bagi siapa saja yang diajak berbincang.

"KOK BISA!?"

Kembali Nami meringis, merasa telinganya berdengung akibat jeritan histeris Tesa di sebrang telepon. Ia mengusap-usap telinganya, menatap kesal pada layar ponselnya. Ingin rasanya ia matikan sambungan begitu saja tanpa mengindahkan si penelepon yang mungkin saja menggerutu tak terima. Namun, Nami masih punya hati. Bagaimanapun, meski caranya sedikit mengesalkan, sahabatnya ini tengah mengkhawatirkannya yang pergi tanpa pamit. 

"Ya bisa lah, pulang tinggal pulang, apa susahnya?" Nami berguling miring, memainkan ujung surainya, pikirannya berkelana pada kejadian siang tadi yang masih saja terngiang-ngiang di benaknya. Kira-kira, jawaban apa yang harus ia berikan pada Renata?

"Perasaan lo baru pulang deh kemaren, sekarang udah pulang lagi? Kenapa? Jangan bilang lo mau pindahan gara-gara nggak kerasan kerja di sini? Ah.. jangan gitu dong, gue sama siapa nanti di sini?"

Tesa ini bisa dibilang teman seperjuangan, mereka sudah bersama-sama semenjak bertahun-tahun lalu, saat pertama kali mereka memutuskan untuk merantau ke kota orang mencari pekerjaan, menginjakkan kaki di tanah asing yang tak mereka kenal, mereka bersama-sama saling membantu dan menguatkan ditengah perihnya kehidupan.

Wajar Tesa merasa was-was ketika salah satu diantara mereka pergi, terbiasa bersama membuat Tesa akhirnya seperti ketergantungan akan kehadiran Namira. Meski hanya batang hidungnya, Tesa sudah bisa merasa lega. Setidaknya dia tidak merasa sendiri di sana, di tanah asing tempat ia berjuang mencari hidup sekarang.

Sebenarnya ada satu lagi sahabat Nami, teman seperjuangan juga. Mita namanya, perempuan dewasa dengan sifat kalem juga cuek itu benar-benar kebalikan dari seorang Tesa yang sembrono dan ceroboh bahkan terkesan boyis. Kepribadian Mita yang tenang membuat Nami sering sekali meminta pendapat atau sekadar curhat padanya. Tidak seperti Tesa yang kurang cocok agaknya dijadikan teman curhat, Tesa ini orangnya kurang bisa diajak serius, dan lemot. Namira jarang berkeluh kesah padanya, lebih sering mengumpat bila berdekatan dengan perempuan satu itu.

Takdir Dua Hati | END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang