15 [Balkon]

18.3K 1K 11
                                    

Nami meraih pengapus di meja, menghampus garis-garis sketsa yang salah, kemudian kembali menggambar ulang garis tersebut. Gadis itu tengah berada di balkon apartemen. Tak ingat waktu, pikirannya sedang kalut, dan ia lampiaskan pada buku sketsa kecil kesayangannya.

Daripada menulis buku harian, gadis itu lebih suka meluapkan emosinya dalam bentuk gambar. Ia akan menggambar sesuai moodnya. Bila sedang sedih, ia akan menggambar seorang gadis yang tengah menangis. Bila sedang kalut seperti ini, ia akan menggambar apapun yang dilihatnya. Sekarang, ia tengah menggambar pemandangan kota dari atas sana.

Padahal, hari sudah malam. Namun rasa kantuknya belum juga datang.
Tangannya kembali terulur, mengambil penghapus hitamnya lagi, menghapus, lalu menggambar ulang.

Nami mendengus ketika melihat sketsa kasar yang ia buat. Ia memang lemah ketika menggambar perspektif seperti ini. Gadis itu selalu gagal menggambar benda-beda rumit seperti bangunan-bangunan kota. Apalagi dengan sudut pandang yang belum ia kuasai.
Ada setidaknya tiga titik perspektif dalam gambarnya, dan semua titik itu tak berhasil membuat gambar yang ia buat menjadi sempurna. Malah membuat kepalanya pusing karena terlalu banyak garis.

Namun Nami tidak menyerah, kekalutan yang melandanya membuat semangatnya berkobar. Gadis itu meneruskan gambarnya, mulai membuat sketsa kasar tersebut menjadi sebuah sketsa sempurna. Menebalkan garis-garis halus di sana, mengarsir dibeberapa bagian, mengapus garis yang tidak baik lalu memperbaikinya.

Sampai tak sadar, sebuah selimut jatuh di atas pundaknya.

Nami tersentak saat menyadari ada sesuatu yang hangat menyelimuti punggunya. Gadis itu menghentikan kegiatannya, menoleh ke arah belakang.

"Di sini dingin."
Pria itu berjalan ke samping Nami, lalu ikut duduk di sofa yang Nami duduki.

Nami tentu terkejut dengan kedatangan pria itu, matanya tak berkedip ketika melihat Fahmi sudah duduk di sampingnya.

"Ka..Kakak kapan pulang?"

"Barusan. Kamu kenapa belum tidur? Ini sudah malam."

"Aku, nggak bisa tidur."

Fahmi mengangguk, pria itu masih memakai pakaian kerjanya. Ia menatap buku sketsa yang ada di atas pangkuan Nami.
"Bagus," katanya.

Nami ikut menatap buku sketsanya, terkekeh kecil sambil menggeleng tidak setuju. "Nggak, ini masih jelek."

Fahmi meraih buku kecil tersebut, lalu membuka lembar pertama. "Boleh?" Tanya pria itu.

Gadis itu menggaruk tengkuknya, ada rasa malu ketika memperlihatkan hasil gambarnya pada orang lain. Tapi, tak urung ia mengangguk juga.

Fahmi mulai membuka lembar demi lembar buku tersebut.
Dilembar pertama, ada gambar sebuah taman, dengan bangku yang di atasnya duduk seorang gadis tengah menikmati suasana.
Lembar selanjutnya, adalah graffiti bertuliskan nama Namira.
Lalu, ada gambar kartun seorang pria tengah membaca buku.
Dan gambar-gambar lain yang membuat Fahmi berdecak kagum.
Walau semua dalam warna hitam dan putih saja, namun entah bagaimana Fahmi bisa membayangkan berbagai warna didalam gambar-gambar tersebut begitu indah.

Fahmi tersenyum tipis pada Nami, menyerahkan kembali buku tersebut setelah selesai melihat semua.
"Gambarmu makin bagus dari terakhir kali aku lihat." Ujarnya.

Kening Nami berkerut, "Oh ya? Kapan memang Kakak pernah lihat gambarku?"
Karena seingatnya, Nami tak pernah memperlihatkan hasil karyanya pada Fahmi, bahkan ketika ia masih duduk di bangku sekolah dulu. 

"Aku mau minta maaf,"

Fahmi malah mengalihkan pembicaraan. Nami tentu semakin bingung dengan permintaan maaf Fahmi.

Takdir Dua Hati | END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang