16

5.3K 661 91
                                    

.
.
.

Sejak membuka matanya seminggu yang lalu, Jimin merasakan kejanggalan yang terjadi pada keluarganya. Mereka seakan bertingkah berlebihan tentang segala hal. Sang ayah yang bahkan biasanya sibuk dengan pekerjaan, kini terlalu banyak menghabiskan waktu di ruang rawat Jimin daripada di kantor.

"Ayah, aku bisa makan sendiri," tolak Jimin berusaha merebut sendok yang berada di tangan sang ayah.

"Tidak boleh! Ayah ingin menyuapimu," jawab sang ayah tegas, tapi terdengar sangat manis dan terasa hangat.

"Tidak mau, ayah! Bisa-bisa tanganku lumpuh karena tidak kugunakan sama sekali. Lagi pula, patah tulangku sudah sembuh."

Patah tulang di dadanya memang sudah sembuh. Jimin bahkan sudah bisa duduk sekarang. Ia hanya tinggal menunggu luka di kepalanya mengering. "Ayah, kumohon. Aku tidak mau terus-terusan disuapi. Nanti malam Taehyung pasti yang merengek."

"U-uh! Ayo buka mulutmu!" Sang ayah masih berusaha untuk melayangkan sendoknya menuju mulut Jimin, yang kini menutup. Tetapi kala pintu terbuka, mulut itu segera berseru meminta pertolongan.

"Ibu!" teriaknya dengan wajah yang memelas, membuat sang ibu segera mendekatinya.

"Ada apa, Jim?" tanyanya sambil melirik kedua orang di hadapannya heran.

"Ayah bersikap berlebihan lagi, bu!"

Sang ibu menghela napas dan melirik ke arah pria yang masih dicintainya itu. Mereka sudah membicarakan hal ini sebelumnya. Tak ada yang memberitahu Jimin soal kondisinya, cukup dengan menjaganya. Namun, mereka tidak kuasa untuk menahan sisi protektif yang akhir-akhir ini muncul secara berlebihan.

"Aku kan sudah lama tidak memanjakan Jimin, sayang," ujar Jaeho tak kalah memelas mencari alasan. Dirinya tak ingin lagi kehilangan satu momen pun dengan keluarganya yang kembali utuh.

Chaeryoung hanya bisa menggelengkan kepalanya. Tak lama, ia merebut mangkuk di tangan Jaeho dan segera menaruh di atas meja yang sudah disiapkan. Jimin tersenyum penuh kemenangan terhadap sang ayah.

"Biarkan dia makan dengan tenang, oppa."

Baru saja satu suapan masuk ke dalam bibir pucat itu, Jimin mengingat sesuatu, membuatnya segera menelan bubur yang ada di mulutnya. "Ibu," panggilnya cepat karena melihat sang ibu hendak beranjak. "Kapan kita pergi menemui nenek? Ayah kan sudah berjanji."

Kedua orang tuanya bertatapan untuk beberapa saat, berusaha menyusun kata yang harus mereka ucapkan pada Jimin. Sang ayah yang memutuskan untuk kembali duduk dan mengusap tangan Jimin, berusaha menenangkan.

"Tidak semudah itu, Jim. Ayah masih harus berusaha merebut hati nenekmu."

Jimin terdiam menatap ayahnya. Ia memang sudah tahu perihal nenek dan kakeknya yang tidak merestui hubungan kedua orang tuanya. Namun ia pikir dengan kembalinya keluarga mereka, semua sudah jelas. Orang dewasa memang rumit.

"Lagi pula kau masih harus istirahat yang banyak, sayang," lanjut sang ibu seraya mengusap kepala Jimin yang masih tertutupi perban.

"Huh? Aku sudah sembuh. Kurasa aku bisa kembali ke sekolah minggu depan."

Keduanya menghela napas, terlalu bingung dengan apa yang harus dijelaskan.

"Ayo habiskan dulu makanmu!"

.
.
.

Keluarganya berubah, Jimin sadari itu. Kehangatan keluarga itu kembali layaknya belasan tahun yang lalu. Namun ada satu hal yang terasa  janggal bagi Jimin. Perubahan itu seakan menutupi sebuah rahasia yang enggan mereka bagi. Entah untuk apa, tapi Jimin merasa keluarganya menyembunyikan sesuatu.

FéeWhere stories live. Discover now