14

6.4K 732 121
                                    

.
.
.

Kamar tidur yang tenang dan nyaman itu terlihat remang karena hanya diterangi oleh cahaya matahari yang menerobos masuk melewati celah-celah tirai. Di atas kasur yang bersebelahan dengan jendela itu, duduk sang pemilik kamar yang tengah termenung sambil memainkan ujung tirai yang sesekali bergerak terhembus oleh angin dari luar.

Taehyung memutuskan untuk tidak pergi ke rumah sakit beberapa hari ini. Perasaannya masih campur aduk karena apa yang ia dengar tentang Jimin tempo hari. Ia memang sempat datang saat Jimin bangun kemarin, tetapi rasa bersalah kembali membuatnya mengurung diri di kamar.

Setelah kecelakaan yang terjadi di depan matanya minggu lalu, fakta bahwa Jimin menutupi kelainannya membuat Taehyung semakin kecewa. Ia kecewa pada dirinya sendiri karena tidak memberikan sang kakak kesempatan. Ia bahkan kecewa pada dirinya yang masih kecil dulu, yang tidak bisa menyadari keanehan sang kakak.

Taehyung ingat betul jika dirinyalah yang mulai memanggil Jimin dengan julukan superhero. Ia yang selalu kagum ketika sang kakak tidak merasa sakit bahkan meringis saat terjatuh karena bermain dengannya, walaupun lengan dan kakinya terluka.

Sang kakak juga selalu memberikan jaket atau syalnya ketika musim dingin tiba, tanpa menyadari jika udara benar-benar sangat dingin. Dulu, Taehyung selalu berpikir jika Jimin itu memang kuat terhadap dingin, walaupun setelahnya ia akan demam tinggi. Namun sekarang dirinya mengerti. Jimin tidak bisa merasakan suhu dingin atau panas yang menyentuh kulitnya.

Jika kemarin dirinya tidak tiba-tiba saja marah dan pergi begitu saja. Jika saja saat itu Jimin tidak melindunginya dari Daehyung. Jika saja dirinya tidak menaruh benci pada kedua kakaknya.

Taehyung merasa jika semua yang terjadi adalah kesalahannya. Semua terjadi karena amarah dan kecewanya yang tanpa dasar. Mungkin sebagai anak kecil dia pantas untuk marah, tetapi semakin dewasa seharusnya ia lebih bisa mengontrol emosinya. Apalagi mengingat perlakuan Jimin yang tak henti berusaha mendekati dirinya.

Namun, bagaimanapun juga, semuanya sudah berlalu. Yang Taehyung dapat lakukan sekarang adalah mencoba untuk ikut andil dalam memperbaiki keluarganya. Anak itu mengambil ponsel yang berada tak jauh dari jangkauan. Ia memutuskan untuk menghubungi seseorang yang setelah ini akan ia bujuk mati-matian.

"Halo, nenek ..."

.
.
.

"Tae, kau menghubungi nenek kemarin?" tanya sang ibu dengan nada selembut mungkin saat sarapan.

Taehyung yang masih mengunyah makanan di mulutnya, menghentikan kegiatannya sebentar, lalu menatap sang ibu yang kini sudah duduk di sampingnya dengan segelas kopi.

"I—ya," jawabnya sedikit ragu.

"Kenapa?"

Yang ditanya menarik napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan sang ibu. "Apa ibu dan ayah tidak akan kembali? Semua kesalahpahaman sudah terselesaikan. Bukankah ini waktunya untuk keluarga kita kembali, bu?"

"Taehyung, kau tahu seperti apa nenekmu."

"Oleh karena itu aku menghubungnya terlebih dahulu karena ibu dan ayah tidak melakukan apa pun." Nadanya mulai meninggi, tidak sabar dengan pemikiran kedua orang tuanya yang masih saja menunda hal sepenting ini.

"Bukan begitu, Tae. Kami masih harus membicarakannya."

"Apa lagi, bu? Ayah jelas masih mencintai ibu. Sekarang, Jimin hyung masih harus memulihkan dirinya. Apa ibu dan ayah menunggu sampai salah satu dari kami mengalami hal yang sama?"

"Taehyung!"

"Lalu apa bu? Kami seperti ini karena keegoisan ayah dan ibu. Aku tidak mau berpisah lagi!" kini getaran tangis mulai terdengar di antara teriakan emosinya. Air mata bahkan mulai keluar dari kedua mata itu.

FéeWhere stories live. Discover now