Chapter 23; Disaster? Nothing

3.2K 527 270
                                    

"Hei, sudah lama rasanya kau tidak kemari,"

"Yah, mau bagaimana lagi." Jimin menggidikkan bahunya ringan kemudian meletakkan ranselnya begitu saja di ubin setelah mengambil Merry.

Sudah hampir satu bulan Jimin tidak menampakkan batang hidungnya di sanggar. Itu disebut dengan kesibukan mengambil alih segalanya, pekerjaan mengalihkan dunianya dan istrinya yang tengah hamil terlalu posesif untuk menerima keadaan di mana suaminya pergi keluar selain untuk berkerja. Tapi khusus malam ini, Jimin melancarkan sedikit bujuk rayu sedangkan banyaknya adalah argumen agar bisa pergi ke sanggar.

Meskipun ya, bujuk rayu di sini bukanlah sejenis yang biasa orang-orang normal lakukan.

"Kau akan turun ke arena?" M bertanya dan Jimin pun mengiyakan dengan singkat, berujar datar tentang kerinduannya menghajar orang.

"Kurasa kelas menengah tidak buruk," dia berujar setelah sebentar berpikir.

"Pilihan yang tepat." M menepuk bahu Jimin ringan kemudian mengajaknya untuk pergi ke ruang bawah tanah.

Jimin bertarung malam itu meskipun di sisi lain, sejak kemarin ia merasa selalu diikuti. Harapan semunya, hal itu adalah kekeliruan, tapi semu, Jimin membohongi dirinya sendiri kalau-kalau terus berpikir seperti itu.

.

.

.

"Ah, apa-apaan ini?" Jimin mengacak rambutnya ketika mendapati ban mobilnya-mobil Yoongi-kempes. Rasa-rasanya ketika berangkat baik-baik saja, tapi sekarang malah bermasalah. Tubuhnya yang sudah minta bantuan istirahat itu tidak bisa lagi dikompromi, Jimin ingin bercumbu dengan kasur segera sampai besok siang tanpa memikirkan apa pun lagi.

Dan lagi, dirinya harus segera pulang atau Yoongi akan mengomel selama satu jam.

Jimin benar-benar bingung, ada apa dengan hari ini?

Pria itu menghembuskan napasnya pendek kemudian mengambil ransel berisi peralatan tinjunya dari dalam mobil, menutup pintunya kemudian berjalan pergi. Langkahnya santai, mempertimbangkan untuk menelepon taksi atau malah mengganggu tidur damai Alien dari planet Mars.

"Sepertinya boleh juga, aku jarang ini merepotkan." Jimin seenak jidat menyimpulkan sendiri, kala mencoba menelepon sahabatnya itu, butuh waktu beberapa lama sampai panggilannya diangkat. Tapi, Jimin menghentikan laju langkahnya bukan karena itu.

"Tae, jangan dulu marah. Di belakangku ada segerombolan preman, menurutmu aku harus apa?" Dia bertanya gamang kemudian tangannya terhempas sehingga membuat ponselnya ikut jatuh dan berakhir mati dengan menyedihkan.

Jimin menghela napas pendek, melirik ponselnya pasrah ketika benda persegi panjang itu malah diinjak seenak jidat. Retak, rusak, mesti diganti yang baru jelasnya.

"Apa-apaan itu, aku belum memberitahu Yoongi kalau aku akan pulang terlambat." Dia bergumam dengan wajah datar lalu berbalik badan. Benar, banyak sekali sekumpulan preman, mereka mungkin gangster karena tidak ada dari mereka yang tidak membawa senjata.

"Mau apa kalian?"

"Menghabisimu,"

"Oh." Kemudian Jimin berlari, tidak disangka sekali sehingga para gangster itu terkejut dan reflek mengejar pria itu.

"Ah, sial. Drama macam apa lagi ini?" Dalam pelariannya, Jimin masih sempat-sempatnya mengeluh.

Dasar.

.

Sejujurnya, diincar preman itu terlalu biasa, sampai-sampai Jimin merasa malas sekali untuk meladeni. Lagi pula, dia lelah bung! Tidak bisa ditunda sampai besok lusa apa?

Parallel Lines 2 [Completed]Where stories live. Discover now