¦¦

Setelah perjalanan secepat kilat yang ia lalui akhirnya Clarisa sampai di tempat tujuan. Itu juga ia harus berteriak-teriak kepada supir taxi agar selalu menambah kecepatan dari menit ke menit padahal mobil mereka sudah berjalan sangat laju, melewati jalan tikus untuk menghindari kemacetan, dan apapun yang bisa supir itu lakukan maka ia akan lakukan. Jika saja mobil yang ia miliki bisa terbang mungkin mobil itu sudah terbang daripada harus mendengar ocehan penumpangnya itu. Yang seakan-akan ingin melahirkan saja.

Namun setelah mendengar alamat yang di sampaikan oleh penumpangnya seketika alis supir itu menyatu. Kenapa pula mereka harus sampai di sana terburu-buru? Apa perempuan ini tidak ingin ketinggalan pesta duniawi mereka? Atau dia bekerja di sana? Tidak mungkin. Dari penampilannya gadis ini tidak terlihat seperti itu. Namun tetap saja bukan, kita tidak bisa menilai seseorang dari penampilannya saja. Bisa saja orang itu lebih baik bahkan lebih buruk daripada yang kita bayangkan.

Clarisa mempercepat langkah kakinya. Menyelip di antara lautan orang yang bersempit-sempitan. Tidak di perdulikannya tatapan mengoda pria-pria yang di lewatinya. Suara musik yang sangat keras membuat Clarisa tidak dapat menangkap perkataan orang-orang itu dengan benar. Paling-paling hanya berisi ungkapan kekaguman dan tawaran malam panjang yang panas. Clarisa tidak membutuhkan itu. Ia harus segera menemukan akar penyebab dirinya berada di tempat ini lagi sebelum pria gila itu berbuat hal yang bukan-bukan.

Clarisa memeriksa sekeliling. Dapat. Indra pengelihatannya menangkap punggung pria yang sudah sangat di kenalnya luar dalam. Kecuali kehidupan pribadi tentunya. Dengan setelan khas kantor dapat di pastikan jika Saddam tidak pulang ke tempat tinggalnya terlebih dahulu melainkan langsung mengunjungi tempat ini. Segitu kesepiannya kah pria itu.

"Hei pria setengah, untuk apa kau menyuruhku kemari?"

Clarisa menatap tajam pria di hadapannya. Bukannya menjawab pria itu malah terkekeh.

"Kau menertawaiku? Dasar gila. Ayo kita pulang." ajak Clarisa hendak membopong tubuh kekar Saddam.

"Hei. Kenapa buru-buru sayang. Kau baru saja sampai. Ayo nikmatilah segelas-dua gelas, minuman di sini enak-enak." rancau Saddam di bawah pengaruh alkohol.

"Berisik. Cepat berikan aku dompetmu. Aku harus tahu alamatmu."

Merasa Saddam sedang tidak nyambung saat di ajak berbicara Clarisa langsung mengeledah pria itu. Mencari dompet. Siapa tahu dapat membantunya menemukan alamat pria gila ini. Karena suatu ketidakmungkinan baginya untuk membawa pulang boss gilanya ini apalagi dalam keadaan mabuk. Ibunya mungkin tidak akan marah karena Saddam telah membantu banyak termasuk membelikan rumah itu. Tapi bukan itu yang Clarisa takutkan. Ia takut jika pria gila ini kambuh dan tiba-tiba menyerang Clarisa dengan senjata tak bertulangnya. Bisa-bisa Clarisa langsung di coret sebagai anak dari ibunya. Tamatlah.

"Apa yang sedang kau lakukan sayang? Apa kau tidak sabar mencicipi tubuh indahku hmm?"

Sepertinya Clarisa juga harus mengikat mulut Saddam dengan kain mengingat betapa ceplas-ceplosnya mulut itu mengeluarkan kata demi kata.

"Diam. Dasar cerewet. Cepat katakan dimana kau meletakkan dompetmu bodoh."

Clarisa terus menjamah tubuh Saddam. Mencari-cari. Tentu saja area tertentu ia lewati. Tidak ingin membangunkan singa lapar.

"Sepertinya di kantong belakang."

Clarisa kembali mengeledah. Menepuk-nepuk pantat Saddam. Kosong. Tidak ada apa-apa di sana. Bahkan kantong pun tidak ada.

"Kau sengaja agar aku menyentuh bokongmu huh? Di sana tidak ada apa-apa bahkan kantong saja tidak ada."

Saddam mengeluarkan cengiran khas kuda.

My Boss is Overhormone #MILER1 (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang