Rumah Pak Rendra seperti istana

1.6K 49 9
                                    

Resya hanya mengangguk, tidak ingin menjawab lebih banyak. Tapi justru hal itu makin membuat Rendra cemburu dan naik darah. Ia tidak terima kalau Resya menangis gara-gara pemuda itu. Apa yang sudah dilakukan pria itu pada Resya? Pikiran gelapnya mulai memikirkan tindak kriminal yang akir-akhir marak terjadi.

"Apa pria bernama Rangga itu menyakitimu?" Rendra terus bertanya hati-hati, ia tidak peduli keengganan Resya untuk bercerita. Darahnya sudah hampir mendidih dengan hanya membayangkan pria yang lebih pantas menjadi kakaknya itu menodai gadis polos seperti Resya. Ia tidak akan pernah memaafkan kalau sampai hal itu terjadi.

Resya menggeleng samar, "Tidak. Tapi Kak Rangga akan menikah, dan itu ... membuatku cemburu."

"Apa?" tanyanya kaget, lalu entah kenapa secara otomatis bibirnya sedikit melengkung ke atas mendengar kabar itu. Hatinya terasa lega luar biasa dan kemarahannya surut seketika, tapi ia berpura-pura simpati demi melihat Resya yang sedang bersedih dan hampir menangis lagi.

"Lalu, kenapa kamu menangis? Biarkan dia menikah dengan gadis pilihannya, dunia itu luas. Kau akan menemukan seseorang yang lebih tepat untuk menjagamu," nasihat Rendra bijak. Ada dorongan dalam hatinya untuk menggantikan tugas Rangga dan melindungi gadis ini.

"Aku mengerti, tapi entah kenapa rasanya sakit, di sini." Resya menekan dadanya, lalu kembali terisak, satu tetes air mata jatuh di pipinya namun segera ia hapus, "Aku tahu tidak sepantasnya aku cemburu. Kak Rangga juga berhak menentukan pasangan hidupnya agar tidak selamanya terikat denganku. Aku cuma belum siap untuk kehilangannya. Kak Rangga adalah segalanya bagiku."

Gadis itu kembali terisak hebat, sementara Rendra tidak tahu harus berbuat apa. Begitu besar cinta Resya pada pria itu, dan itu membuat dadanya ikut sesak. Cup es krim di tangan gadis itu sudah hampir habis dan meleleh, ia bisa membelikannya lagi. Tetapi gadis itu bisa sakit perut kalau terus menerus hanya memakan es krim saja. Juga seragam sekolahnya yang agak basah terkena air mata itu harus diganti kalau tidak mau masuk angin di udara yang mulai beranjak dingin.

"Ayo, saya antar pulang," ajak Rendra akhirnya setelah tangis Resya mereda, lagi. Ia berdiri dan mengulurkan tangan, namun ditepis oleh gadis itu.

"Aku tidak mau pulang, Pak Rendra pulang duluan saja," tolak Resya lemah.

"Kau harus pulang. Sebentar lagi malam, berbahaya seorang gadis sendirian di jalanan sepi seperti ini," Rendra memperingatkan, tapi gadis itu masih menggeleng.

"Aku tidak mau pulang dan bertemu dengan Kak Rangga. Aku belum siap," ucapnya gemetar, ia kembali memeluk lututnya demi menghalau udara dingin.

Mendengar nama Rangga disebut, tiba-tiba ia juga tidak rela kalau Resya harus pulang dan menghadapi pria yang akan meninggalkan gadis itu demi menikahi wanita lain. "Apa kau punya saudara yang tinggal di dekat sini?"

Lagi-lagi gadis itu menggeleng lemah. Rendra mulai frustasi. Ke mana ia harus membawa gadis ini? Ia tidak mungkin meninggalkannya dalam kondisi seperti ini, apalagi hari sudah mulai gelap. Ia melepas jaketnya dan menyelimuti Resya ketika dilihatnya gadis itu kedinginan. Resya mengucapkan terima kasih tanpa suara.

"Bagaimana kalau kau ikut pulang dengan saya?" pertanyaan itu terucap begitu saja dari mulutnya. Ia tidak tahu kalau membawa gadis ini berarti akan membuat perubahan besar dalam hidupnya kelak.

"Ke mana, Pak?" tanya Resya, matanya yang sipit karena bengkak terlihat mengerjap. Sepertinya dia juga sudah tidak nyaman dengan tempat ini.

"Tentu saja ke rumah saya, kamu bisa menenangkan diri di sana untuk sementara. Setelah itu baru saya antar pulang," Rendra tersenyum manis.

Untuk sejenak Resya terpesona dengan senyuman guru pengganti di sekolahnya tersebut, pantas saja banyak siswi di sekolahnya yang naksir berat. Tapi bukan itu yang membuatnya berpikir untuk ikut, semua karena perutnya yang keroncongan minta diisi. Ia tidak mungkin pulang dan minta makanan pada Rangga. Gengsi!

"Baiklah, Pak. Aku ikut," kata Resya akhirnya.

Rendra kembali mengulurkan tangannya, dan kali ini Resya langsung menyambut dengan antusias. Kakinya hampir goyah karena terlalu lama duduk dan mati rasa, tapi Rendra segera menopangnya.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir. Resya mengangguk pelan, wajahnya sudah memerah dengan cepat. Rendra sangat suka melihatnya, tapi ia segera berdehem dan menyalakan motor gedenya. Resya langsung naik di belakang tanpa perlu disuruh. Ia ingin cepat-cepat menyembunyikan wajahnya dari pandangan Rendra.

"Wah, rumah Bapak besar sekali. Seperti istana," puji Resya, mulutnya tak bisa berhenti berdecak kagum semenjak mereka memasuki sebuah gerbang setinggi tiga meter dan rumah besar dua tingkat bercat putih gading itu.

"Terima kasih," balasnya singkat, lalu ia memasukkan motornya ke garasi.

"Haa ...! Mobil sport keluaran terbaru, Range Rover, Ford? I-ini semua punya Bapak?" Resya terkejut melihat isi garasi Rendra, sementara pria itu hanya mengangguk.

"Ta-tapi kenapa Bapak naik motor ke sekolah?" gadis itu masih tidak habis pikir dengan guru barunya tersebut. Dia seorang yang sangat kaya raya, tapi selain motor gede yang biasa dipakainya ke sekolah, semuanya biasa-biasa saja.

"Untuk menghindari kemacetan," jawabnya enteng, "Ayo, masuk."

Rendra menekan sebuah tombol dan garasinya langsung menutup dengan otomatis, sama seperti saat ia membukanya tadi. Begitu juga dengan pintu gerbangnya, sepertinya pria itu lebih memilih menggunakan alat-alat elektronik daripada menggaji tenaga manusia.

Rumah bertingkat dua itu memang menakjubkan, halaman depan dipenuhi tumbuhan yang rindang dan juga air mancur berbentuk lingkaran yang diletakkan di tengah-tengah taman agar suasana menjadi segar. Dilihat dari tanamannya yang terdiri dari rumput-rumputan dan tanaman perdu yang tidak memerlukan tenaga lebih untuk perawatannya, bisa disimpulkan kalau dia juga tidak suka berkutat lama-lama dengan tamannya.

Begitu pintu depan terbuka, Resya tidak bisa menutup mulutnya yang menganga lebar. Sofa yang mewah, furniture yang elegan, dan pajangan kristal berkilau membuat Resya terpukau. Ini lebih mirip rumah tinggal keluarga dengan tipe istri yang cerewet kalau perabotan kristalnya berdebu sedikit saja.

Resya jadi bertanya-tanya apakah pria itu punya waktu untuk mengurus rumah sebesar ini sendirian? Apa benar dia hanya tinggal sendiri? Atau jangan-jangan Rendra sudah punya istri secara sembunyi-sembunyi? Tapi di mana istri atau semua anggota keluarganya yang lain? Kenapa rumah ini sepi sekali? Pikiran-pikiran itu begitu saja langsung terlintas di otaknya yang sempit.

"Tutup mulutmu kalau tidak mau masuk angin," tegur Rendra sambil tertawa.

Resya segera menutup mulut, pipinya merona karena malu sudah terlihat bodoh di depan gurunya tersebut. Ini pertama kalinya dia masuk ke rumah seorang pria, apalagi rumah sebesar ini. Tiba-tiba perutnya berbunyi, satu lagi catatan yang harus diingat; jangan pernah kabur dengan perut kosong!

"Kau lapar? Mungkin di lemari es ada yang masih bisa dimakan, jujur saja, saya tidak bisa memasak. Dan di sini tidak ada pembantu, karena biasanya Mami menyewa cleaning servis untuk membersihkan rumah ini. Kalau untuk urusan makanan, saya lebih suka makan di luar, lebih praktis," Rendra menjelaskan.

Itu menjelaskan kenapa rumah ini terlihat begitu perempuan dan selalu bersih. Tapi di mana maminya Rendra? Ia tidak berani menyuarakan pertanyaan itu karena takut dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi orang lain. Terlebih orang yang belum lama ia kenal.

Istriku Lemotnya Tingkat DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang