Apakah harus nyontek?

3.1K 83 0
                                    

"Kakaakk, kaos kakiku sebelah lagi mana?" teriak Resya dari kamarnya.

"Mana aku tahu, makanya kalau naruh barang tuh jangan sembarangan. Kalau mau pake 'kan jadi susah!" gerutu Rangga.

"Nggak pake ngomel-ngomel juga kalee, Kak. Aku 'kan cuma nanya, kalau nggak tahu, ya udah," sungutnya, ia panik mencari kaos kaki pink gambar babi favoritnya.

"Buruan, Res. Udah siang, nih! Hobi banget sih kesiangan."

"Bentar, Kak. Hobi banget sih ngomel-ngomel!" balas Resya, ia turun dengan tampang cemberut.

Rangga yang sudah buka mulut untuk marah jadi terkikik geli melihat Resya, "Wah, mentang-mentang tahun baru udah lewat jadi pake gaya baru segala." Lah, apa hubungannya?

Resya tidak menimpali ucapan kakaknya, ia sibuk membawa tas dengan tangan kiri, buku-buku di tangan kanan dan memakai sepatu tanpa lihat dulu. Untung sepatunya nggak pakai tali, jadi langsung pakai.

Sejak pertaruhannya dengan Pak Rendra kemarin, teman-temannya sering melihat dan berbisik-bisik di belakangnya. Tapi hari ini, mereka juga menertawakan Resya, mungkin menertawakan kebodohannya, tapi ia tidak ambil pusing. Baginya ulangan Fisika kali ini sudah mengerikan.

"Pagi, Cha," sapa Resya saat Icha hampir masuk kelas.

"Hai, Res. Tumben lo nggak telat?"

"Hampir aja, Cha. Tapi Kak Rangga udah ngomel-ngomel mulu jadi terpaksa deh daripada telinga aku budeg."

"Beruntung banget yah lo, Res. Punya kakak sebaik Kak Rangga, mau berangkat kerja juga masih sempet nganterin dan merhatiin lo," kata Icha kagum.

Resya cuma tersenyum, ia tidak membantahnya. Sejak orang tua mereka meninggal beberapa tahun lalu, cuma Kak Rangga yang ia punya. Kakaknya yang saat itu sedang kuliah terpaksa harus membanting tulang dan mengurus keperluan mereka. Kuliah sambil bekerja sampai akhirnya nasib mereka bisa seperti sekarang ini.

"Resya Anggraini," sebuah suara bariton mengaburkan lamunan Resya.

"Pak Rendra?" Resya berseru kaget, hari ini Pak Rendra terlihat super ganteng dengan kemeja warna putih yang sangat cemerlang.

"Sepertinya ada yang sibuk belajar semalaman, sampai saking sibuknya, ia tidak melihat kalau ternyata ia salah pakai sepatu," sindir Rendra. Baginya, penampilan adalah nomor satu. Bahkan ia rela menyiapkan semua kebutuhannya sejak semalam agar tidak ada yang tertinggal atau lupa. Perencanaan itu penting, mottonya.

"Maksud, Bapak?" tanya Resya dan Icha berbarengan.

"Lihat ke bawah," jawab Rendra singkat sambil menahan senyum, lalu ia berlalu menuju kantor guru. Dasar ceroboh!

Tanpa disuruh dua kali mereka serempak menatap ke bawah, tapi pandangan Icha tertuju pada sepatu Resya. Sementara gadis itu malah memandangi lantai keramik yang sudah sedikit kusam karena termakan usia.

"Ya, ampun, Res! Lo gila! Ngelamunin apa lo sampe nggak nyadar pake sepatu pink dan kuning sekaligus? Terus ... kaos kaki lo ...!" sembur Icha, seketika tawa anak-anak yang tadinya hanya berbisik-bisik atau tertahan di belakangnya pun meledak.

Muka Resya merah padam, ia ingat tadi sedang mencari kaus kaki pink-nya tapi tidak ketemu, jadi ia memakai kaos kaki hijau, sialnya ia lupa mengganti kaos kaki sebelahnya dengan warna hijau. Alhasil kini ia memakai kaos kaki pink dan hijau, juga sepatu pink dan kuning. Oh, my God! Pantas saja tadi Kak Rangga berhenti ngomel dan berkata begitu, awas nanti kalau pulang!

"Semalaman aku nggak bisa tidur, Cha," ujarnya lesu setelah berhasil duduk di bangkunya dengan menahan malu.

"Lo belajar semalaman, Res? Salut gue sama lo," puji Icha.

"Bukan, aku tuh beli komik baru, ceritanya seru banget, jadi aku baca sampai tuntas serinya. Eh, nggak terasa udah hampir subuh," sesal Resya.

"Apa? Lo bela-belain begadang cuma buat baca komik?! Lo lupa sama taruhan lo sama Pak Rendra?" Icha histeris, seperti mau memakan Resya hidup-hidup. Resya sampai bergidik melihatnya.

"Sorry, Cha. Abisnya semalam aku udah nyoba belajar, tapi ngapalin angka-angka malah bikin aku pusing." Resya menunduk dalam sambil memainkan jemarinya.

Icha menghela napas berat, dia kasihan juga melihat sahabatnya itu kesusahan. Akhirnya sebuah ide terlintas dalam pikirannya.

"Lo tenang aja, Res. Gue bakalan bantuin lo," kata Icha berbinar sambil menggenggam tangan Resya.

Gadis itu mengangkat mukanya dan tersenyum, ia terharu dengan kebaikan Icha.

"Makasih, ya, Cha. Kamu memang sahabatku yang paliing baik," Resya memeluk Icha dengan hangat.

"Nggak usah dipikirin, Res. Itu emang gunanya sahabat. Kalo gitu, nanti siang kita ke perpus."

Sesuai janji, jam istirahat pertama mereka rela tidak makan dan pergi ke perpustakaan untuk mencari-cari buku fisika yang komplit.

"Lo udah bawa buku sama pensilnya, 'kan?" tanya Icha begitu mereka sampai di perpustakaan.

Resya mengangguk, "Tapi untuk apa pensil sama buku kosong ini?"

"Buat ini," jawab Icha, lalu ia merobek buku itu menjadi potongan kertas kecil dan memanjang.

"Lo tulis rumus-rumus yang sekiranya bakalan keluar di ulangan besok terus lo umpetin di tempat yang nggak bakalan ketebak sama Pak Rendra," lanjut Icha menjelaskan.

"Maksud kamu, kita mau bikin kertas contekan?" tanya Resya kaget.

"Bukan kita, tapi kamu. Dengan otak pas-pasan, kamu nggak bakalan bisa menang dari Pak Rendra. Terpaksa kita pakai cara ini, lagipula kita kan cuma menulis rumus bukan menulis jawabannya," tambahnya.

"Iya juga, ya," kata Resya akhirnya. Sepenuhnya memercayai ucapan sahabatnya.

~oOo~

Istriku Lemotnya Tingkat DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang