Resya yang sangat lemot

3.9K 112 2
                                    

"Resyaa, sudah jam tujuh, nih! Kamu mau telat lagi ke sekolah?" teriak Rangga, kakaknya, dari lantai bawah. Hari ini dia ada meeting penting dan harus segera berangkat ke kantor kalau tidak mau terlambat karena kemacetan ibu kota yang menggila di jam sibuk seperti ini.

"Iya, Kak. Sebentaarr!" Resya balas berteriak, ia masih sibuk memilih-milih kaus kaki yang akan dipakainya hari ini.

"Pakai kaus kaki yang mana, ya?" gumamnya, lalu ia kembali berteriak, "Kak Rangga, aku pakai kaus kaki warna pink, kuning, atau biru?"

"Biru," jawab Rangga sekenanya, ia sudah tidak sabar menunggu adiknya berdandan. Setiap pagi ada saja yang dicarinya, entah tas yang warnanya matching dengan ikat rambut, kaos kaki, atau sepatunya yang bermotif ngejreng itu.

"Biru muda atau biru tua?" tanya Resya lagi.

"Biru tua," jawabnya singkat. Jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh menit. Gawat!

"Biru tua yang ada bintangnya atau yang ada mataharinya?"

"Resyaaa, cepat turun atau aku tinggal!" ancam Rangga, kali ini kesabarannya sudah habis. Adik semata wayangnya itu kadang-kadang kelakuannya bikin darah tinggi.

"Iya, iya, bawel!" sungutnya kesal, sembari menarik kaos kaki bergambar kucing berwarna abu-abu dan setengah menghentakkan kakinya saat turun tangga.

Rangga yang melihat hal itu langsung geregetan. “Kalau mau pakai warna abu-abu, kenapa nanya-nanya warna biru?”

Resya mengangkat bahu dengan enteng, “Aku kan cuma nanya,” jawabnya polos.

Ya, ampun! Rangga hanya bisa menghela napas lelah. Bahkan sepagi ini pun kesabarannya sudah diuji. Sabar, Rangga, ucapnya dalam hati.

Pak Sukarno baru saja hendak menutup pintu gerbang bertepatan dengan Resya sampai di sekolah. Gadis itu segera melompat keluar dari mobil setelah sebelumnya berpamitan singkat dengan Rangga.

“Eh, tunggu dulu, Pak! Jangan dulu ditutup!” teriak Resya dengan setengah berlari.

"Kamu pikir ini jam berapa?" tanya Pak Karno garang. Ia bersedekap di depan gerbang, tidak mengizinkan siapa pun memasuki wilayah kekuasaannya setelah bel masuk berbunyi.

"Kenapa, sih, tiap hari Bapak nanya kayak gitu?" tanya Resya heran.

"Jawab!" bentak Pak Karno. Ia tidak mau kalah lagi melawan gadis cilik yang sering terlambat itu.

"Jam tujuh, Pak," jawab Resya enteng.

"Ini sudah jam 7 lewat 2 menit, tahu!" bentak Pak Karno lebih sadis. Ia menurunkan tangannya dan berkacak pinggang, memasang wajah sangar yang ditakuti hampir semua murid di SMA Tunas Bangsa.

"Kalau udah tahu kenapa nanya, Pak?" gerutu Resya. “Masa jam tangannya aja segede gaban, tapi nggak ngerti cara pakenya,” tambahnya dengan bergumam.

Pak Karno sudah naik darah dengan anak yang satu ini, hampir tiap hari ia harus bersitegang dengannya. Tapi anehnya, anak ini tidak pernah takut dengannya. Malah ada saja alasan aneh yang dikarangnya untuk bisa masuk.

“Kali ini apa alasanmu terlambat? Jangan bilang kalau kucing tetanggamu melahirkan lagi atau melihat ulat bulu berganti kulit. Udah basi!”

“Bukan ganti kulit, Pak Karnooo ... tapi bermetamorfosis. Lagian ya, kalo nggak dilihat kan rugi juga. Kapan lagi punya kesempatan kayak gitu. Ngeliat ulat berubah jadi kupu-kupu yang cantik banget. Abisnya aku kan suka geli-geli gimanaa gitu kalo ngeliat ulat, apalagi ulat bulu, eh, pas udah jadi kupu-kupu ternyata–“

"Cukup! Sudah, masuk sana," ujar Pak Karno melunak, ia tidak mau energinya habis untuk meladeni Resya yang tidak pernah jera juga. Apalagi mendengar celotehannya yang seperti burung berkicau ke sana-kemari dan tidak ada habisnya. Merepet terus seperti mercon.

Istriku Lemotnya Tingkat DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang