Kena sidang Mami

822 41 4
                                    


"Jadi Bapak nyesel udah bawa aku kemari? Bapak nggak ikhlas nolongin aku?" Resya melotot, lalu mengulurkan tangan, meminta sesuatu.

"Apa?" tanya Rendra heran, di tengah keremangan kamarnya ia bisa lihat kalau gadis itu benar-benar marah.

"Pinjem ponsel Bapak!" jawabnya ketus.

"Buat apa?"

"Ya, buat meneleponlah, masa iya buat korek kuping!" Resya tidak merasa perlu untuk bersopan santun lagi di tengah suasana genting seperti ini.

"Kenapa tidak pakai punyamu?" sahutnya dingin. Meskipun ia hampir saja menepuk jidatnya karena baru terpikirkan hal itu sekarang. Kenapa tidak sejak tadi dia menelepon dengan ponselnya?

"Kalau aku bawa ponsel, sudah sejak tadi aku menelepon seseorang untuk menjemputku. Sudah, jangan banyak tanya, kemarikan saja ponsel Bapak!"

Meskipun kesal, tapi akhirnya Rendra memberikan ponselnya juga pada Resya. Setelah beberapa saat mengotak-atik ponsel, gadis itu bukannya senang, tapi malah bertambah marah.

"Apa-apaan ini? Ponselnya saja yang keren, tapi kalau mati, buat apa?" bentak Resya tambah kesal.

Rendra merebut ponselnya dari tangan Resya dengan secepat kilat. Tidak mungkin dia akan lebih sial lagi dari ini. Kapan terakhir kali ia mengisi ulang baterai ponselnya? Tadi pagi atau ... kemarin? Sejak kapan hidupnya yang biasa teratur menjadi berantakan seperti ini! Rasanya ia ingin merutuki otaknya yang tidak bekerja dengan baik sejak insiden ulangan Fisika waktu itu. Pikirannya hanya terfokus pada gadis yang sekarang berdiri di depannya tersebut.

Resya bersiap memuntahkan omelannya lagi kepada Rendra, ketika tiba-tiba ada sinar putih selama satu detik disusul suara petir yang terdengar memekakkan telinga.

"Arrggh!" Resya menutup telinganya dengan kedua tangan. Ia meringkuk di pojokan kamar, lalu terdengar petir yang lebih keras susul menyusul.

"Hen-tikan. Kumohon hentikan suara itu. Aku takut," rintihnya terisak, tubuhnya gemetar saking ketakutan.

"Kamu tidak apa-apa, Res?" tanya Rendra khawatir, ia segera merangkul tubuh mungil itu, "Tenang saja, tidak usah takut. Ada aku di sini menemanimu."

"Aku mau Kak Rangga, biasanya Kak Rangga yang akan memelukku kalau aku ketakutan," desisnya lirih.

Rahang Rendra menegang, tangannya mengepal menahan rasa cemburu saat Resya menyebut nama pria itu. Cahaya kilat terang seperti cahaya blitz menyusup ke kamar Rendra. Ia mengambil sesuatu dari kantong celananya, sebuah korek api. Dia mencari-cari keberadaan lilin. Mungkin kalau terang, Resya tidak akan terlalu ketakutan lagi, pikirnya.

Ia menyalakan korek itu, tapi di luar dugaan. Resya malah menjerit histeris dan mundur sambil menutup mukanya.

"Jauhkan benda itu dariku! Aku ..., api itu ...," Resya tidak berkata-kata lagi, ia menangis sejadi-jadinya.

Dalam sekali tiupan, korek itu langsung padam. Rendra yang kebingungan kembali mendekati Resya yang sedang histeris.

"Tenanglah, Res. Apinya sudah tidak ada, maafkan aku."

Setelah lelah menangis, Resya tertidur dipelukan Rendra. Ia membaringkan gadis itu di kasurnya, wajahnya terlihat sangat damai. Meskipun sesekali isak tangisnya masih terdengar. Suasana kamar remang-remang karena badai sudah hilang berganti cahaya bulan yang masuk samar-samar.

'Ada apa dengan gadis ini? Di balik wajah cerianya ternyata ia phobia dengan petir dan api, apakah ia pernah mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan dengan kedua hal tersebut?' pikirannya menerka-nerka, karena lelah dan malam memang sudah larut, akhirnya Rendra berbaring di samping Resya sambil memeluk gadis itu.

Istriku Lemotnya Tingkat DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang