Terjebak di kamar Pak Rendra

757 41 2
                                    

Resya mengekori Rendra sambil mulutnya hanya ber-oohhh pelan. Ia tidak sepenuhnya mendengar penjelasan Rendra yang lainnya karena matanya masih sibuk mengamati rumah super megah tersebut. Ia juga melihat tumpukan baju yang dibungkus plastik, sepertinya baru diambil dari laundri. Pria ini memang tidak mau repot.

Rendra menyadari arah tatapan Resya dan keningnya yang berkerut, "Itu baju-baju saya, seminggu sekali akan diantar oleh petugas laundri kepercayaan Mami. Mereka juga diberi kunci cadangan, jadi mereka bisa masuk tanpa harus menunggu saya pulang,” ia melihat-lihat ke dalam lemari es, mencari sesuatu yang tersisa dan aman untuk dimakan, karena dia sudah hampir seminggu ini sangat sibuk meyusun tesis dan mempersiapkan materi untuk mengajar sehingga tidak sempat berbelanja. Biasanya maminya yang akan belanja keperluannya, tapi sekarang orang tuanya juga sedang pergi liburan, jadi tidak ada yang bisa diharapkan. “Tidak ada makanan, mungkin lebih baik kita pesan saja. Kebetulan saya punya resto langganan."

Rendra membolak-balik buku telepon di ruang tamu, tapi kemudian dia seperti tersadar sesuatu. Keningnya berkerut sembari tetap membolak-balik buku tebal tersebut.

"Ada apa, Pak?" tanya Resya heran.

"Saya lupa kalau nomornya di buku telepon yang ada di kamar, soalnya yang di sana lebih lengkap. Kalau begitu, saya pesan dari atas saja. Kamu tidak apa-apa saya tinggal sendirian, kan?” tanya Rendra khawatir. Gadis itu tampak sangat mungil dan rapuh di rumah seluas ini. Apalagi mengingat wajahnya yang sedikit pucat, membuatnya enggan untuk meninggalkan gadis itu sendirian.

Resya melirik kanan-kiri dengan panik. Rumah ini begitu luas, apalagi beberapa lampu di sudut hanya bersinar temaram, mengingatkannya dengan rumah-rumah besar yang ada di film horor yang sering ditontonnya bersama Icha. Bagaimana kalau tiba-tiba nanti ada wanita bergaun putih yang lewat? Atau bayangan hitam yang datang dari belakangnya? Keringat dingin mulai terasa mengucur di punggungnya.

“Ada apa? Apa kamu sakit?” tanya Rendra khawatir, wajah muridnya itu semakin bertambah pucat.

“Ti-tidak. Apa ... apakah di sini su-suka terlihat hantu gentayangan?” Resya balik bertanya dengan gugup, membuat Rendra tertawa.

“Tentu saja tidak. Tapi kalau kau takut, kamu bisa ikut dengan saya ke atas. Tenang saja, saya tidak akan berbuat macam-macam. Di kamar saya ada balkon yang pemandangannya lumayan bagus, kamu bisa menunggu di sana selagi saya menelepon. Bagaimana?” tawar Rendra geli, tidak menyangka kalau gadis itu sangat penakut.

Resya ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk samar dan mengikuti Rendra ke lantai dua. Dia tidak mau ditinggalkan sendirian di rumah yang menyeramkan itu.

"Bisa tolong bukakan pintu?" pinta Rendra sambil menyodorkan selembar kartu seperti ATM dengan susah payah dari saku celananya, sementara kedua tangannya sibuk membawa tumpukan baju-baju dari bawah.

"Buka pintunya dengan ini?" tanya Resya heran. “Tidak pakai kunci?”

"Iya, kamu gesek saja pada alat yang menempel di dinding. Lalu masukkan pin-nya," jawab Rendra geli.

Resya belum pernah melihat kunci pintu seperti itu sebelumnya, sebenarnya kunci seperti itu banyak digunakan di hotel-hotel atau apartemen. Tapi memang dasar Resya saja yang lemot, makanya tidak tahu. Apalagi dia juga belum pernah menginap di hotel atau main-main ke apartemen sebelumnya. Biasanya Rangga hanya mengajaknya liburan yang tidak terlalu jauh, sehingga bisa pulang hari itu juga.

Akhirnya pintu terbuka setelah Resya menekan pin yang disebutkan Rendra. Gadis itu mengintip isinya. Sebuah kamar yang mewah, mungkin dua kali lebih luas dari kamarnya sendiri. Gadis itu segera menuju balkon yang tadi disebutkan oleh Rendra. Menikmati pemandangan senja yang beranjak malam. Sayangnya cuaca hari itu sedikit mendung, sehingga hanya rintik-rintik gerimis yang terlihat. Dia sedikit kecewa melihatnya.

Menyadari pandangan gadis itu yang redup, Rendra segera memecahkan kebisuan. Ia tidak suka melihat Resya kecewa lagi, "Ah, saya lupa! Rasanya di kamar kerja masih ada beberapa makanan ringan yang saya beli kemarin. Tunggu sebentar, saya akan mengambilnya untukmu. Mana kuncinya?" Rendra mengulurkan tangan ke arah Resya setelah menaruh semua bajunya ke dalam lemari. Pintu kamarnya memang sengaja ia atur supaya terkunci secara otomatis kalau menutup.

"Kunci? Maksud Bapak kartu yang tadi? Aku taruh di alat yang ada di luar sana," jawab Resya enteng.

"Apa?” Rendra ternganga, kalau kuncinya disimpan di luar, bagaimana mereka bisa keluar dari kamarnya? “Kenapa kamu bisa ceroboh seperti itu? Bagaimana caranya kita keluar kalau kuncinya tidak ada?" bentak Rendra frustasi.

"Hei, salahkan mesin kunci Pak Rendra yang aneh itu! Mana aku tahu kalau kuncinya harus dibawa, Bapak kan tidak bilang." Resya melotot kesal, tidak terima dibentak seperti itu.

Rendra menghela napas panjang. Sabar, sabar. Dia kan masih anak SMA, wajar kalau ceroboh, “Oke, maafkan saya,” ucapnya melunak. Ia sadar kalau ini adalah kesalahannya juga. Memang sudah seharusnya tadi dia memberitahu Resya terlebih dahulu sebelum masuk.

"Kriiiuuukkk." Perut Resya mulai berdemo karena sejak pagi belum makan, "Aku lapar! Aku mau pulang! Aku mau keluar dari sini!" jerit Resya panik.

"Hei, tenang, tenang! Tidak usah berteriak-teriak seperti itu. Saya tahu, saya juga lapar. Tapi di kamar ini tidak ada makanan, saya akan menelepon siapa saja untuk menolong kita keluar dari sini," belum sempat Rendra mengambil telepon, tiba-tiba kamarnya menjadi gelap gulita.

"Arrgghhh ... kenapa jadi gelap begini?" jerit Resya ketakutan, ia langsung menghambur ke arah Rendra.

"Sial! Telepon juga mati, sepertinya ada kerusakan dari pusat," umpat Rendra. Ia membanting gagang telepon dan menarik Resya ke balkon untuk melihat lampu-lampu di jalanan depan rumahnya yang juga mati total.

Langit nampak gelap pekat, bahkan hujan mulai turun dengan deras membuat Rendra segera menutup pintu balkon karena angin mulai bertiup sangat kencang, ia tidak ingin membuat mereka berdua kebasahan.

“Bagaimana ini, Pak? Aku mau pulang! Pulang! Ini salah Bapak, kenapa Bapak mengajakku ke sini. Sekarang kita terkunci di sini. Kelaparan dan mati lampu di tengah hujan deras. Apalagi yang bisa lebih buruk dari ini?” hardik Resya kesal, kalau perutnya sedang lapar, ia memang suka melampiaskannya dengan marah-marah agar lebih tenang.

"Sudahlah, jangan menyalahkanku terus. Bukankah kamu yang membuat kita terkunci di sini? Kalau saja kamu tidak meninggalkan kunci itu di luar, saat ini kita pasti sedang makan enak. Seharusnya aku memang tidak pernah membawa kamu ke sini,” balas Rendra tidak kalah sengit. Ia bahkan tidak mau repot-repot memakai kata ‘saya’ lagi. Kesabarannya mulai menipis, ia tidak terima disalahkan oleh gadis kecil yang sudah susah payah ia berusaha tolong itu. Apalagi ini adalah pertama kalinya dia membawa seorang gadis ke rumah, bahkan ke kamarnya. Kalau mami dan papinya tahu, bisa habis dia diceramahi siang malam atau disuruh kawin paksa.

Istriku Lemotnya Tingkat DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang