Bab 10

13.5K 1.7K 299
                                    

Hari ini sekolah pulang lebih awal dari biasanya. Aji sengaja tidak menghubungi sopirnya untuk menjemput lebih awal. Rasanya ia ingin berlama-lama berada di luar rumah. Malas dengan kehadiran Opa di rumahnya.

"Ji, belum dijemput?" Damar menghampiri.

"Ikut nongkrong, yuk. Di warung deket sini." Sean mengajak.

"Lo naik motor sama gue. Mau gak?" tanya Arnaldo.

Aji tampak berpikir. "Boleh, deh. Nanti anter gue ke sekolah lagi, ya?"

Anggukan dari Arnaldo membuat Aji dan teman-temannya kecuali Kadek, pergi menuju warung tongkrongan mereka. Sesampainya di sana, Aji berkenalan dengan banyak teman baru. Semuanya laki-laki. Kebanyakan dari mereka adalah kakak kelas di sekolahnya.

"Kalian emang suka nongkrong gini?" Aji bertanya. Di sekolah lamanya, tidak ada budaya nongkrong di warung seperti ini. Biasanya mereka nongkrong di kafe.

"Iya. Melepas penat." Arnaldo menunjukkan deretan giginya.

"Di sini kami coba lupain masalah yang ada. Kami ini udah kayak keluarga, Ji. Saling merangkul, meski orang liat kami nakal." Sean menambahkan.

Aji mengangguk paham. Ingatannya kembali pada kejadian semalam. Di mana Opa kembali menjadi seorang pemaksa dan Gio yang membentaknya di hadapan keluarga besarnya. Terbesit perasaan bersalah di benaknya ketika papanya itu meninggikan nada suaranya.

Sungguh, ia tidak pernah ingin membuat pria itu marah. Tapi ... apakah ia harus kembali mengalah? Haruskah ia mengubur cita-citanya untuk bisa mendapatkan beasiswa?

"Ji, kenapa diem aja?" Damar menyenggol temannya itu. "Masih sakit?"

Aji menggelengkan kepalanya. "Cuma lagi ada masalah aja di rumah."

"Nih, cobain ini." Seorang kakak kelas memberikan sebungkus rokok.

Kedua mata Aji membelalak. Walaupun masih merasa kesal pada Gio, tetapi dirinya ingat jika pria itu telah melarangnya untuk menyentuh rokok. Mel juga telah melarangnya dengan alasan kesehatan.

"Belum pernah nyobain?"

Aji mengangguk. "Udah. Tapi ... nanti kakak gue marah."

Semua yang mendengarnya, kecuali teman sekelas Aji, terbahak. "Kakak lo gak liat dan gak akan tau, gak akan ada yang ngadu."

"Kalau ragu, gak usah, Ji." Nakula mengingatkan. "Gue gak ngerokok, kok."

"Bisa ngilangin stress bagi gue, walau cuma sesaat." Sean mengambil satu batang rokok dari bungkusnya.

Tiba-tiba, Aji mengikuti temannya itu. Senyum di wajahnya terukir. Benar kata Sean, pikirannya sedikit rileks.

Setelah rokok di tangannya habis terbakar, sebuah pesan dari Zachra masuk. Mengatakan jika gadis itu telah berada di depan sekolahnya. Buru-buru ia meminta Sean untuk mengantarnya ke depan sekolah.

"Gimana sekolahnya hari ini?" tanya Zachra ketika Aji sudah naik mobil.

Laki-laki itu tersenyum. Menceritakan tentang harinya di sekolah.

"Tadi kamu dari mana, sih? Sekolah juga udah sepi banget."

"Nongkrong. Iya, pulang cepet, mau langsung minta jemput juga pasti Kakak belum siap." Aji menunjukkan deretan giginya.

"Temen-temen kamu ngerokok?"

Anak laki-laki itu sedikit terkejut. "Eh? Kenapa?"

Zachra mengangkat bahunya. "Bau asap rokok."

"Iya, mereka ngerokok," ucapnya dengan pelan.

"Ih, aku kadang suka bayangin. Gimana kalau anak-anak yang ngerokok itu punya kakak kayak Kak Qila. Atau punya kakak sepupu kayak dia. Abis kali ya dimarahin. Kak Qila kalau marah serem. Untung jarang marah."

WasanaМесто, где живут истории. Откройте их для себя