36. Harapan Kosong?

667 49 14
                                    

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Aku sudah berjuang, namun sepertinya perjuanganku harus berakhir di sini. Di saat dia yang ku perjuangkan, bukan orang yang Tuhan takdirkan.

~Takdirku~

***

Menjadi seorang manajer itu tidak mudah. Apalagi jika Fadhil sama sekali tak ada pengalaman dalam bidang bisnis. Sekolah saja, mengambil jurusan 'Pendidikan Biologi'. Bukan administrasi perkantoran, atau manajemen bisnis seperti mendiang sepupunya. Namun, entah kenapa Pak Ferdi bisa sepercaya itu pada kemampuannya.

Seandainya dulu Fadhil memilih menikah dengan gadis pilihan sang papa, mungkin ia tidak akan terjebak di sini. Semua sudah diputuskan. Apa yang ia terima saat ini, itu merupakan pilihannya di masa lalu. Jadi, sekarang Fadhil harus banyak bersyukur. Setidaknya Bu Fitri tidak terlalu mendesak agar secepatnya mencari calon.

Di depan jendela yang menyuguhkan hiruk pikuk suasana Bali, Fadhil berdiri. Menikmati setiap detik yang ia lalui, dengan pandangan menerawang jauh pada pohon rindang yang berdiri di depan sana. Sudah hampir enam bulan dirinya menjabat sebagai seorang manajer perusahaan. Selama itu pula, ia belum kembali ke Bandung, sekadar menjenguk orang tua di sana.

Ingin pulang, tapi belum ada perintah dari Pak Ferdi. Fadhil tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di sini sebelum Pak Ferdi yang meminta. Ditambah hatinya yang belum siap jika harus menyapa berbagai kenangan di kota itu, menjadi alasan terkuat bagi Fadhil bertahan di Bali.

Suara decit pintu yang dibuka berhasil mengalihkan perhatian Fadhil. Melihat siapa orang yang datang, senyum hangat langsung terpahat di bibir dengan spontan.

"Assalamualaikum, Fadhil."

"Wa alaikumsalam, Om." Dua lelaki itu saling berjabat tangan. "Bagaimana kabarnya, Om?" Tanya Fadhil sambil menggiring tamunya untuk duduk di sofa.

"Alhamdulillah, Om baik. Kamu sendiri bagaimana?"

"Alhamdulillah Om, Fadhil juga sehat."

"Tapi Om perhatikan, tadi kamu sedang melamun. Kenapa, ada masalah?" Hanya seulas senyum yang menjadi jawaban Fadhil atas pertanyaan tersebut. "Bagaimana pekerjaan kamu, apa ada kesulitan dalam mengatur keuangan?" Pak Ferdi bertanya sekali lagi.

"Tidak Om, Alhamdulillah, Fadhil bisa mengerjakannya."

"Syukurlah." Pandangan Pak Ferdi tersapu ke setiap penjuru ruangan. "Oh iya, sudah enam bulan kamu berada di sini. Kamu tidak ada niatan untuk pulang?"

Sekilas, mata Fadhil mengarah pada Pak Ferdi yang tengah menatapnya, intens. "Entahlah, Om, Fadhil masih mau di sini," jawabnya seraya menunduk.

"Kenapa, apa kamu tidak rindu dengan ibumu di Bandung?"

Desahan pelan lolos dari hidung Fadhil. "Fadhil rindu. Fadhil sangat merindukan semua orang yang ada di sana. Tapi ... Fadhil belum siap."

Sesaat, sunggingan senyum mampir di bibir Pak Ferdi. Setelah menepuk bahu Fadhil beberapa kali, lantas ia bangkit, dan berjalan menuju jendela.

"Apa yang membuatmu belum siap pulang ke Bandung? Pertanyaan mamamu tentang calon istri," tebaknya, seraya membalikkan badan ke arah Fadhil.

Sekarang, Fadhil hanya mampu menarik bibirnya yang terasa kaku. Tanpa dijawab pun, ternyata Pak Ferdi sudah tahu. Apa lagi? Memang itu yang menjadi hambatan terbesar dirinya untuk pulang. Seandainya waktu bisa diputar, pasti ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Jika saja saat itu Fadhil bisa lebih berani mengutarakan perasaan, mungkin ia tidak akan keduluan oleh laki-laki lain.

Takdirku ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang