Memotret Kehidupan

13 2 0
                                    

Antaressa Rasta - Entah Di Mana

Ya, ini aku lagi. Di surealisme ini lagi.

Duduk sendiri di keheningan malam, memandang kosong kedepan. 

Merindu. Tapi tak tahu apa yang kurindu. Yang aku tahu dada ini sesak penuh, menahan teriakan-teriakan pertanyaan. Pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu apa pertanyaannya. Antara aku, dia dan Tuhan.

Duduk sendiri di keheningan malam, memandang kosong kedepan. 

Sejauh mata memandang hanya hitam, yang membuatku serasa terkurung dalam kerucut lampu jalanan bersama singgasana kursi kayu jati dengan sandaran tua yang mulai pudar warna coklatnya. Tetap tak kreatif, ikut membisu bersama sepinya hitam. Menjadi saksi, antara aku, dia dan Tuhan.

Duduk sendiri di keheningan malam, memandang kosong kedepan.

Hitam. Hening. Sendiri. 

Sendiri ?

[ ... suara langkah ... ]

Kepalaku menoleh seiring terhentinya suara langkah yang terhenti, tepat di sebelah kananku. Seorang bocah laki-laki kecil tersenyum manis, jubah putih ala biksu dan kepalanya yang gundul bersih, membuat dia tampak seperti cahaya di hitamnya malam

Bagai tetes air yang jatuh pada arang hitam hatiku yang kering legam.

"Kenapa ?", dia bertanya.

Pertanyaan yang hanya aku jawab dengan kembali memandang kosong kedepan.

Diraihnya tangan kananku dan diterlentangkan. Sambil tersenyum dia memberi sebuah kotak coklat persegi seukuran dua kali telapak tangan.

"Kenapa ?", dia kembali bertanya dan kemudian menghilang.

Hal yang kulakukan pastilah semua bisa menebaknya, tapi apa yang ada di dalamnya pasti akan membuat semua orang heran dan bertanya, termasuk aku. Sebuah kamera foto.

"Kenapa ?", aku bertanya dalam hati, menoleh mencari jawaban ke tempat bocah itu menghilang ditelan hitam.

Kamera di tanganku adalah kamera pertama yang kudapatkan dari sahabatku, Langit Ardimas. Sahabat yang menjawab pertanyaan bodohku tentang 'kenapa dia suka kamera'

Dia menjawab, "Aku suka belajar kamera karena belajar kamera itu seperti belajar untuk hidup".

Sambil menjauh masuk ke kamarnya didorong perawat rumah sakit, karena udara di taman tempat kami biasa berbincang mulai dingin.

Ucapan itu adalah ucapan terakhir darinya, karena esok paginya dia meninggalkan aku dalam arti sebenarnya dengan hanya meninggalkan sepucuk surat dan kamera ini. Ucapan itu merupakan rangkuman dari surat terakhirnya.

Dingin hari itu sedingin malam surealis gelap ini. Sambil aku merapatkan jaketku aku memandang lebih dalam pada kamera yang aku genggam dengan dua tangan ini.

Ah, mungkin ini yang ingin dikatakan bocah tadi. Mungkin ini 'kenapa' yang berusaha bocah itu sampaikan padaku. Senyum kecut, aku menimbang-nimbang kamera yang mulai kusuka setelah hampir sebulan ini kuberusaha pelajari, meski tidak sebagus Ardimas hasil gambar yang kuhasilkan.

Awalnya aku tak menyangka, bahwa sebuah alat perekam gambar ini begitu dalam makna falsafahnya. Pada proses pengaturan diagfragmanya, pada proses pengaturan kecepatan cahayanya, white-balancenya, ISO-nya,penggunaan flashnya, zoomnya, fokusnya, ataupun lensanya. Itu baru faktor-faktor yang melekat pada kameranya.

Belum lagi faktor yang lekat pada manusianya, mulai dari olah rasa tentang sudut pandang, proporsi, keseimbangan, komposisi, kekontrasan, penempatan aksentuasi.

ALMANAK KISAH-KISAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang