Part 22

6.9K 221 108
                                    

Teresa benar-benar menangis begitu ia masuk ke kamarnya. Ia merasa terluka, kecewa, sakit hati dan lebih buruknya lagi ia merasa tidak diinginkan lagi oleh abangnya yang selama ini selalu menyayanginya.

Ia benar-benar merasa sendiri sekarang. Ini lebih buruk lagi daripada saat Theo meninggalkannya di Bali lalu, lebih buruk dari gosip miringnya dengan abangnya yang menyebut mereka brother complex, dan bahkan lebih buruk lagi daripada pengakuan balikannya Theo dengan si ubur-ubur itu di infotainment.

Teresa merasa bersalah juga pada Theo karna dirinya yang dijadikan pilihan oleh omanya. Dan yang terburuk adalah ia bukanlah yang terpilih.

Theo memilih pergi. Itu membuat Teresa merasa kosong, benar-benar kosong. Ia benar-benar merasa kehilangan. Ia memikirkan bagaimana caranya mengembalikan abangnya ke sisinya. Ia takut oma akan mengurungnya disini atau bahkan mengasingkannya ke tempat jauh untuk mengantisipasi Theo yang mungkin tetap berusaha menemui Teresa.

Tapi hati kecil Teresa berkata jika Theo memilih pergi dan dia gak akan kembali. Ingin ia berkata 'berbahagialah sama pilihanmu bang', tapi ia tidak ingin jadi orang munafik. Dan lagi-lagi ia merasa jika ia terlalu berharap lebih pada Theo yang posisinya sebagai abangnya, bukan kekasihnya.

Kekasihnya?

Entah kenapa pemikiran Teresa sebagai kekasih sebenarnya Theo membuat hatinya bergetar, ia tidak tau apa masalahnya. Yang ia tau selama ini ia terbiasa dengan posisinya yang selalu diprioritaskan oleh abangnya, tapi setelah ini gak akan lagi.

***

Sisa malam ini Theo habiskan dengan mampir ke salah satu bar yang ia temui di perjalanan pulangnya kembali ke Jakarta. Ia memilih menghabiskan malamnya dengan mabuk-mabukan. Ia pusing, marah, kesal, benci dan entahlah, ia tidak tau harus bagaimana mendeskripsikan perasaannya saat ini.

Theo sudah mabuk berat, tapi ia masih saja meminta gelasnya diisi lagi dan lagi. Si bartender sudah memperingatkannya untuk berhenti tapi Theo justru membalasnya dengan makian.

Meskipun keadaannya yang sudah mabuk berat tapi Theo bisa merasakan ponsel di sakunya bergetar. Ia mengambilnya dan tersenyum kecut melihat potret Teresa di layar ponselnya yang tersenyum lebar ke arahnya, Teresa menelponnya? Buat apa lagi?

Theo memutuskan untuk mengabaikannya. Tapi ponselnya terus saja bergetar, sampai akhirnya ia kesal dan memutuskan untuk mengangkatnya.

"Bang", panggilan itulah yang menyapanya begitu ia menjawab telponnya. Ia memutuskan untuk keluar dari bar dan menuju ke mobilnya.

"Abang. Abang dimana bang?", sapa Teresa di seberang sana dengan suara bergetar.

"Apa lagi sekarang?! Hah?!", tanya Theo marah.

Ini pertama kalinya ia membentak adiknya. Biasanya semarah apapun ia pada adiknya, ia tidak akan sampai membentak adiknya apalagi berkata kasar padanya. Tapi hari ini Theo benar-benar diujung batas emosinya, ia marah luar biasa.

Semua orang melarangnya bertemu lagi dengan adiknya, tapi adiknyalah yang justru menghubunginya sekarang. Apa maunya? Dia mau nambah masalah lagi?

Theo sudah memilih pergi untuk menghindari masalah yang lebih rumit lagi, tapi sepertinya adiknya itu sedang berusaha memunculkan masalah lagi.

"Mau lo apa hah?! Apa masih belum cukup masalah ini buat gue?", bentak Theo lagi. Tapi Teresa bungkam.

"Lo dengerin gue baik-baik! Enyahlah dari hidup gue! Lo gak penting lagi buat gue!", teriak Theo dengan nafas memburu.

"Abang mabuk?", balas suara di seberang sana.

"Bukan urusan lo lagi, bitch!".

Tut tut tut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(NOT) Brother ComplexTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang