3 - Istikharah

2.9K 335 54
                                    

Kelas pengantar linguistik hari ini kosong, namun kami harus mengumpulkan tugas minggu lalu di meja dosen. Berhubung Mark si ketua mahasiswa yang ditugaskan untuk mengumpulkan hasil kerja kami, Intan mengajakku ke sebuah coffee shop dekat kampus. Tak lupa kami berterima kasih pada Mark saat memberikan tugas itu.

Intan berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah pemilik toko kelontong, dan ibunya merupakan sekretaris utama divisi akademik kampus. Meski ia sering mengendarai mobil, sesungguhnya ada maksud lain agar orang tak menuduhnya sebagai anak antek-antek koruptor ayahku.

Jika weekend, Intan menjelma menjadi supir taksi online di jalanan Jakarta.

Tak sekali dua kali Intan dicibir teman-teman lain karena masih mau dekat denganku, namun memang dasar cuek dan anti sensitif, Intan tak menggubrisnya dan tetap bersamaku. Kedua orang tuanya pun tak melarang, mereka malah kasihan padaku yang sudah menjadi yatim piatu di usia muda.

Kalau di kampus, selain Intan, ada Mark yang kadang-kadang ikut bergabung menemaniku jika dia tidak sibuk dengan UKM fotografi. Mark pun berprinsip sama seperti Intan. Dia tidak mau menjauhiku atas dasar kasus orang tuaku, karena ia adalah ketua mahasiswa di kelas yang harus bersikap netral.

Segelas cappuccino dingin kuaduk dan kunikmati pelan, hasil traktir dari Intan yang merayakan kesenangannya bisa menyupiri Irwansyah di hari Minggu sore, ketika Intan menjemputnya di sebuah mall dan mengantarkan si artis tampan itu pulang ke rumah. Dari sejak masuk kelas sampai sekarang, Intan terus menceritakan betapa beruntungnya dia bisa bertemu idola yang malas menyetir dan memilih pulang dengan taksi online. Aku sendiri tetap setia mendengarkan, berbeda dari Mark yang menyumpal mulut Intan dengan sepotong roti bekalnya agar berhenti memuji Irwansyah di kelas tadi.

"Intinya gua puas banget bisa se-mobil sama Farel!"

Maklum, Intan adalah fans garis keras film Heart.

Bicara soal Irwansyah, aku jadi teringat masalah teleponku dengan Kak Daffin beberapa hari lalu. Apa kuceritakan saja ya soal ini pada Intan? Supaya aku tahu sudut pandang orang lain, toh ini sahabat sendiri.

"Li, diem mulu kayak patung pancoran." Mulut Intan memang seperti ini, lucu. "Nggak ada yang mau lo ceritain gitu ke gue? Si Hendery di kelas lihatin lo terus kalo mau tahu. Gue bingung, dia dulu ngejauhin kita pas ada berita kasus itu. Sekarang dia kayak nyesel gitu lho, Li. Mark juga bilang ke gue, kadang-kadang Hendery nanyain dia tentang lo."

"Masa'?"

"Pas masa orientasi fakultas kan kita sekelompok sama Hendery, Li. Lo masih inget nggak sih waktu lomba 17-an, dia sampe rela malu ikut lomba karaoke lagu mandarin karena disuruh sama lo?"

"Kan emang yang jago bahasa mandarin di kelompok kita cuma Hendery, Tan."

"Kalo Hendery suka sama lo, gimana? Liana, kok gue jadi pengen comblangin kalian ya? Mark juga bilang seru kalo sampe kalian jadian." Intan mulai berhalusinasi sambil mengunyah bitterballen-nya. "Ah, tapi jangan deh, Li. Entar kalian diomongin jelek lagi. Reputasi Hendery di kampus udah silau banget. Yaa.. memang nggak nutup kemungkinan sih kalo dia suka ngirim sinyal lebih dari sekedar temen ke elo."

Hendery. Ketua UKM seni rupa. Sekelompok denganku di masa orientasi kampus, fakultas, dan jurusan. Kami dipertemukan tidak lebih dari takdir. Rupawan, namun tidak sebanding denganku sekarang.

Orang tua Hendery adalah pendiri yayasan sekolah luar biasa di Bandung. Aku pernah bertemu dengan mereka di sebuah restoran tempat aku dan keluargaku biasa makan malam, terlihat sekali mereka menjunjung tinggi kualitas dan martabat. Biar pun Hendery menaruh hati padaku, aku tidak bisa mencoreng nama keluarganya dengan predikat burukku sekarang.

ASMARADANA ✔️Where stories live. Discover now