16 - Cakap Hati

1.3K 146 7
                                    

*(backsound) NAFF - Kau Masih Kekasihku*

Jika aku boleh mendeskripsikan seperti apa keadaanku sekarang di bulan pertama libur semester, maka ada satu kata mewakili itu. Kosong.

Bekerja menjadi barista (tak lagi junior karena kemampuan belajarku meningkat drastis selama tiga bulan dan bertahan lebih baik) di coffee shop Tante Sunny menyibukkan fisik dan jiwaku, menyudutkan sisa sedih akibat kekacauan pagi yang tak pernah kuinginkan itu. Cukup sudah kukurung diriku selama dua hari di kamar, makan seadanya, bicara seperlunya, merelakan provider card-ku diganti oleh Kak Audi, disertai kedatangan Intan dan Mark dari pagi sampai malam agar diriku sedikit membaik.

Pekerjaan di kafe sebenarnya biasa saja, interaksiku dengan rekan kerja, Ibu Sunny, para tamu, dan Hendery juga terkontrol.

Hei, ada apa dengan Hendery?

Di luar radar Kak Audi, aku sering membangun komunikasi bersama Hendery. Entah pada saat itu ia menjadi tamu di kafe, mengantar atau menjemputku pulang kerja, dan tak sedikit kuutarakan rasa penasaran tentang kehidupan Kak Daffin di London, bersama Kak Arimbi dan Kanira.

Jangan tanya se-sakit apa setiap kali Hendery menyebut nama istri dan anak angkat Kak Daffin itu, tapi bolehlah aku berlega hati karena Kanira merupakan anak kandung mendiang ayahnya sesuai tes DNA yang ditunjukkan Kak Arimbi, sehari sebelum keberangkatan mereka ke London lewat e-mail.

Diam-diam, Kak Arimbi memberiku alamat e-mail-nya dan Kak Daffin, berikut nomor ponsel mereka berdua selama di London.

"Saya tahu kamu sangat membutuhkan kontak Daffin. Mungkin kamu pikir kontak saya nggak berguna, tapi kita nggak tahu di masa depan nanti bisa jadi kita akan saling menerima satu sama lain."

Begitulah ucapan terakhir si cantik Arimbi Dwitanindya, saat ia terpaksa menemuiku dari balik jendela kamar, datang mengendap-endap ketika ia menelepon menanyakan keberadaanku sebelum pergi ke bandara. Pas sekali ketika Kak Audi mampir ke warung di belakang perumahan demi membeli persediaan gula pasir.

Biar Kak Arimbi memberitahuku ada Kak Daffin di dalam taksi dan tidak ingin turun menemuiku, aku cukup tahu diri. Orang tuaku sudah menyulitkan kondisi keuangan Kak Arimbi, tidak pantas rasanya bagiku memeluk kekasih yang masih berstatus sebagai suaminya.

Walau aku ingin sekali sampai mau mati rasanya.

"Berdiri nyenderin gagang pel, ngelamun, ini kalo ada tamu lihat mau lo disangka stres?" Kak Hangga menepuk bahuku keras.

Astaga, ini masih jam sembilan pagi tapi pikiranku sudah melayang jauh ke neptunus.

"Udah tiga hari nyawa lo kelihatan hilang, tahu nggak? Lo masih juga belom mau cerita sama anak-anak? Atau minimal gue deh. Nggak masalah sih sebenernya, toh tamu-tamu belom ada yang komplain. Cuma gimana, Li.. gue nggak bisa biarin lo mendem beban sendiri. Lagian apa susahnya tinggal ngomong doang?"

Kak Hangga menarikku masuk ke coffee station, mengambil pel beserta ember dari tanganku untuk diserahkan dan dilanjutkan oleh Kak Deo yang kebetulan sedang free. Dua orang itu berbincang sedikit, akhirnya Kak Deo mengiyakan pinta Kak Hangga untuk membersihkan lantai sesuai tugasku semula.

"Cuma ada dua tamu di outdoor belakang tuh, mumpung gue lagi baik nih mau nampung cerita lo."

"Eh, ada cerita apaan?" Kepala Kak Wendy tiba-tiba nongol dari bilik dapur. "Keterlaluan emang lu, Ga. Ada gosip sama Liana nggak bagi-bagi nih sama anak dapur."

"Mau banget digosipin? Hahah.." Gelak Kak Hangga. Sementara aku hanya memalingkan muka dan tersenyum.

"Sepi nih, hari biasa pula udah gitu tadi subuh sempet hujan jadi pagi-pagi gini jarang orang mampir deh. Mungkin udah takdir kalo gue siap menampung kabar terbaru dari kalian." Kak Wendy menutur penuh harap, barisan gigi rapinya tertera indah dilihat.

ASMARADANA ✔️Where stories live. Discover now