4 - Pukulan Telak I

2.3K 285 10
                                    

*(backsound) Eric Benet - Still With You 🎶*

"Maksudnya, Pak?"

"Kamu belum bisa bimbingan untuk semester depan sebelum SPP kamu lunas dulu, Liana."

"Memang kekurangan yang belum saya bayar itu berapa, Pak?"

"Kamu bisa cek sendiri di sini."

Fantastis. Mulutku menganga lebar mengetahui jumlah angka pembayaran untuk semester depan yang harus kulunasi sebelum bimbingan dengan dosen wali akademik. Salahku memang, dulu ngotot ingin masuk program internasional karena kupikir keluargaku pasti sanggup membayar. Siapa sangka ada tragedi konyol di masa lalu yang mengharuskanku menanggung semuanya sendiri.

Biar pun lebih mahal dua kali lipat dari biaya program reguler, tetap saja aku ingin merutuk diri sendiri. Kak Audi mana ada uang sebanyak itu? Cicilan bangunan restoran dan rumah kami masih harus terselesaikan dalam dua tahun. Kak Audi sendiri juga bilang kalau harga bahan makanan premium untuk kebutuhan menu di restorannya melonjak naik. Tabunganku pun tidak mencapai harapan. Masa' harus menjual mobil atau rumah? Kalau pun aku bekerja sambilan, gaji yang kudapat juga tidak sampai sesuai nominal itu.

"Kalau mau pindah program dari internasional ke reguler.. bisa nggak, Pak?"

"Bisa kok, tapi di semester genap tahun depan." Petugas divisi keuangan itu menunjukkan isi file di komputer mengenai berapa banyak biaya yang dikeluarkan apabila pindah program. Tambah sakit saja kepalaku seperti tertusuk ribuan jarum membaca deretan angka itu.

"Terima kasih banyak, Pak. Maaf mengganggu waktunya." Kuundurkan diri dengan sopan dan membalikkan badan.

"Liana," petugas itu berdiri dan menahanku dengan sebuah panggilan. Kupaksakan tersenyum menjawabnya. "Maaf, saya nggak bisa membantu kamu soal ini, semoga segera ada jalan keluarnya."

"Nggak apa-apa. Terima kasih, Pak."

Kulangkahkan kakiku gontai meninggalkan ruang divisi keuangan kampus dan memegang erat tali ranselku. Isi kepalaku penuh sekali akhir-akhir ini. Tugas mulai menumpuk menjelang UAS, surat sakti tentang aku dan Kak Daffin, pembayaran kuliah, belum lagi pandangan semua orang setiap melihatku yang menurut mereka memuakkan itu. Harus bagaimana lagi sekarang? Kalau aku memaksakan diri untuk kuliah, sekarang aku berada di posisi maju atau mundur pun kena. Tetap bertahan di program internasional bisa segera memiskinkan keluargaku, tapi berpindah program pun harus membayar ulang dari awal.

Ya Allah, bukan ini yang kuinginkan. Aku mau menjadi mahasiswa biasa dan lulus tepat waktu, bukan seperti ini yang kuharapkan. Kenapa aku harus teruji seperti ini? Apakah imanku se-kuat itu sampai harus berhadapan dengan sesuatu yang sebenarnya aku tak sanggup?

Tanpa sadar, aku sudah berada di dalam sudut barat ruangan gedung perpustakaan. Di mana tidak banyak orang berlalu lalang dan hanya ada koleksi buku kesusastraan klasik dan sansekerta. Aku lantas duduk memeluk lutut di atas karpet, menyandarkan kepalaku di rak buku dan memandang nanar sedikit mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas dari jarak jauh.

Betapa nikmatnya mereka... hidup tanpa beban dan mengenal banyak teman.

Tak lama, atensiku harus berganti pada sebuah benda bergetar di dalam saku celana kiriku. Sebuah panggilan dari seseorang yang kukenal meminta untuk direspon.

"Halo," kuusap pelan sudut mataku yang telah meloloskan sebutir air.

"Halo, Li. Lagi di mana?"

Kak Tarra. Pertanyaan yang simpel tapi mampu membuatku bersyukur, karena di saat begini masih ada yang ingin tahu keberadaanku.

"Kampus, biasa. Kenapa, Kak?"

ASMARADANA ✔️Kde žijí příběhy. Začni objevovat