14 - Dasar Teori Rasa

1.2K 179 17
                                    

Sementara di luar kamar terdapat empat orang dilanda kemelut debat dan keributan, aku terduduk di lantai kamarku yang terkunci rapat. Menangisi tanpa air mata atas duka di telepon semalam, memberi celah mimpi buruk sebagai bunga tidur hingga mengakibatkanku terlelap hanya empat jam saja, juga merepotkan hadirnya Mark dan Intan di sekelilingku sekarang.

Berulang kali Om dan Tante Adi menyalahkan Daffin, lagipula batin orang tua mana yang baik-baik saja mengetahui anak semata wayang kebanggaannya menikah diam-diam di luar negeri, tertimbun rapat menjadi rahasia besar dan memilih untuk menggemakan prestasi agar dapat ditutupi. Bahkan backsound seperti pukulan di tubuh pun terdengar jelas dari kamarku, sampai Intan berjengit ngeri. Mark sendiri membuka lebar jendela supaya atensinya teralihkan dengan menikmati pemandangan berupa tanaman bunga di pekarangan samping rumah.

"Pokoknya saya tidak akan biarkan Liana berhubungan denganmu lagi dalam bentuk apapun! Cukup orang tua kami yang pergi dan melukai hati Liana, tapi kamu.. jangan harap bisa datang dan memohon hatinya lagi untuk kamu miliki!"

Begitulah cara Kak Audi mengultimatum sekaligus mengusir tamu pengusik jiwa itu.

"Saya juga pastikan bahwa Daffin bertanggung jawab atas Arimbi dan Kanira, dan jangan sampai anak kami mencintai putri mantan terdakwa pembawa lari uang negara untuk dibawa mati."

Om Adirianto adalah sosok komposer hangat bertalenta di bidang event organizer bagi penikmat musik dari Asia belahan timur, tak kusangka sambutan baiknya di rumah kala itu harus berputar balik menghinaku dan keluarga. Sampai hati ia menggores luka lamaku di masa lalu.

"Beberapa hari lagi, saya sudah perintahkan Daffin untuk berangkat kembali ke London bersama Arimbi dan Kanira. Audi tenang aja, mulai saat ini.. keluargamu dan kami resmi putus hubungan kerjasama. Silakan sobek surat wasiat orang tua kalian yang nggak berguna itu."

Intan refleks memelukku seusai Tante Adirianto menyahut, sementara Mark menggenggam tangan kananku, merasa bahwa tetesan air dari kelopak mataku turun setitik demi setitik.

Kami berdiam diri, saling menghangatkan perasaan masing-masing, sebelum pintu di kamarku diketuk sebanyak tiga kali.

"Liana,"

Haruskah suara itu menyapaku lagi?

"Liana, saya tahu kamu dengar. Izinkan saya bicara sebentar sama kamu."

Mau apalagi sih kamu, Bunny? Kalau mau pergi ke masa depan ya sana!

"Maafin saya, Li.."

"Telat." Bisik Intan dan Mark serempak.

"Tolong jaga diri kamu baik-baik, semoga kamu bisa selesaikan kuliahmu tepat waktu. Terima kasih, kamu mau bertemu lagi dengan saya yang diliputi banyak sekali kekurangan ini. Terima kasih, kamu mau membagi kesempatan untuk saling menerima satu sama lain. Terima kasih juga, telah menumbuhkan perasaan bagi saya untuk mengenalmu lebih baik lagi, berbagi kebaikan, dan nggak akan saya lupakan selamanya."

Aku, Intan, dan Mark bertukar pikiran untuk menebak apalagi yang ingin dia katakan.

Seandainya dia ada di depanku, mau memelukku barang sesaat, tubuh dan jiwaku bisa jadi takkan pernah rela ditinggalkan olehnya secepat ini. Rencana hidup bahagia itu masih membayangi isi otakku, bagaimana kami akan menghabiskan umur bersama.. itu semua tertata rapi dalam doaku setiap hari sebelumnya.

Kamu bilang menyayangiku, Kak? Jika benar, kenapa kamu lebih memilih Kak Arimbi?

Tapi aku nggak bisa menampik lebih jauh lagi kalau aku justru sangat mencintaimu, Kak..

"Tunggu.."

Apa katanya barusan?

"Saya harap kamu bisa bersabar menunggu. Selamat tinggal, Liana. Assalamu'alaikum."

ASMARADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang