Part 11

24K 2K 361
                                    

Mataku mulai terbuka perlahan. Berangsur-angsur kesadaranku kembali. Aku ingat, aku tertidur kelelahan setelah melapor ke Pak Reza bahwa aku mendapat sebuah ancaman. Setelah itu Putra langsung pulang setelah mengantarku dan aku pun kembali ke kamar. Tapi kurasa, aku tidak tidur terlalu lama. Jendela kamarku juga tidak memantulkan cahaya matahari seperti biasanya. Pandanganku beralih ke jam beker, jarum pendeknya bertengger di angka 11. Itu berarti aku terbangun di malam hari, tepatnya hampir tengah malam.

Aku melangkah menuju dapur. Sial, tengah malam seperti ini aku merasa haus. Suasana dapur pun sangat sunyi. Ya ... Seperti biasa, orangtuaku lembur dan aku sendirian di rumah. Hal itu terkadang yang membuatku merasa kesepian. Tapi entah mengapa malam ini berbeda, terasa sangat sunyi, aku bahkan merasa bukan hanya aku yang ada di rumah. Angin juga bertiup cukup kencang hingga pohon di luar rumahku menggoreskan daun dan rantingnya ke genting dan jendela. Sangat menambah kesan yang mencekam.

Setelah menenggak beberapa gelas air, aku segera kembali ke kamar dengan setengah berlari. Ini gila, aku takut di rumahku sendiri. Setelah sampai kamar, aku menghambur ke ranjang dan menutupi tubuhku dengan selimut. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuh.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan pintu yang berulang.  Ya ampun, siapa yang bertamu malam-malam begini! Aku putuskan untuk tidak membukanya. Aku tahu itu bukan orangtuaku. Jika iya, pasti Ibu atau Ayah akan berteriak mengucapkan salam, dan kali ini tidak. Lagipula mereka terbiasa pulang subuh. Aku kembali membungkus diri dengan selimut. Masa bodoh dengan suara ketukan pintu yang makin lama semakin mengeras. Hingga ...

Ceklek.

Oh, tidak. Aku rasa pintu depan rumahku sudah dibobol dengan mudah. Terdengar lagi suara kaki melangkah yang amat jelas karena suasana sunyi ini. Kurasa kaki itu melangkah ke kamarku. Aku benar-benar kehilangan keberanian, yang bisa ku lakukan hanyalah bersembunyi di bawah ranjang. Aku merutuk dalam hati 'ya ampun, dimana orangtuaku disaat mencekam seperti ini!'

Kedua netraku menangkap jelas sebuah langkah kaki yang berbalut sepatu hitam putih membuka pintu kamar. Keduanya berhenti tepat di depan wajahku dimana aku sedang bersembunyi. Mulutku merapal doa-doa yang ku hafal dan menutup mata seakan takut jika penyusup ini akan mencolok mataku.

Tak beberapa lama kemudian, kedua kaki itu terlihat menjauh, melewati pintu kamar dan menutupnya. Aku tak yakin orang itu benar-benar pergi, hingga aku memutuskan untuk tidak keluar dari persembunyian terlalu cepat, untuk memastikan bahwa ia benar-benar pergi. Tak peduli aku harus kena debu atau apapun di bawah ranjang. Yang terpenting adalah aku selamat untuk malam ini.

Empat jam berlalu, sepertinya orang itu benar-benar sudah pergi dari rumahku. Aku mendengar suara mobil berhenti di depan rumah, "assalamualaikum," aku yakin orangtuaku sudah pulang. Sekali lagi, ku beranikan diri keluar dari kolong ranjang dan melihat siapa yang datang. Aku mendesah lega ketika benar yang datang adalah orangtuaku. Mereka tidak bicara sesuatu yang penting ketika melihatku dan langsung masuk kamar, mungkin kelelahan. Ya, setidaknya aku tidak lagi sendirian di rumah.

Aku kembali lagi ke kamar dan menaiki ranjang untuk memejamkan mata lagi, berharap semuanya adalah mimpi.

***

Suara riuh tepuk tangan itu terdengar lagi ketika Dewi dan crew dance nya mulai memasuki panggung. Terlebih ketika mereka mulai menggerakkan badannya seirama dengan lagu, sorak-sorai suara orang-orang di sekitarku semakin ramai saja.

Disinilah aku, berada di bawah panggungnya, berperan sebagai penonton sambil sesekali berteriak memanggil nama Dewi dan kagum dengan gerakan badannya yang begitu lentur. Ngomong-ngomong, perlombaan dance yang diikuti Dewi diadakan hari ini. Karena Dewi juga cukup populer di sekolah, ia banyak mendapat dukungan tidak langsung berupa pesan semangat dari berbagai grup Ekskul dan grup kelas. Sempat kulihat ada Juned juga disini, ia juga tersenyum melihatku, tapi sepertinya dia mendukung temannya yang kebetulan ikut serta dalam perlombaan. Aku sendiri pun berinisiatif datang untuk melihat Dewi tampil, tentu saja ditemani Putra yang ada di sampingku sekarang. Sudah seharian penuh ia mengawasiku. Senang rasanya, tapi aku juga tidak suka dikekang, dengan alasan 'untuk menjaga', padahal aku bisa sendiri. Semuanya lengkap, hanya saja, aku belum melihat Alfian sekarang.

Tragedi Toilet Sekolah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang