Part 10

24.2K 2.1K 209
                                    

"Halo?" Ucapku memulai basa-basi percakapan.

"Sher, gue ada di depan rumah Lo, buka pintu ya! Gue mau ngomong."

Dan telepon itu terputus secara sepihak. Ada apa dengannya?

Aku segera berjalan lagi menuju pintu depan. Sebelum itu, ku lihat dulu dari jendela, tidak ada siapa-siapa. Apa iya Putra hanya iseng? Tidak seperti biasanya. Aku juga tidak terlalu mengenali suara Putra di telepon tadi.

Tunggu.

Aku ingat sekarang. Nomor telepon Putra adalah nomor ganda. Aku tidak yakin yang meneleponku tadi benar-benar seorang Putra. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar saja. Jujur aku takut sekarang. Apalagi Ibu dan Ayah akan pergi bekerja dan lembur hingga tengah malam, itu artinya aku akan sendirian di rumah.

Pintu kamarku terbuka, "Sher, ibu sama ayah ke kantor dulu, ya. Tolong kamu keluar sebentar buat kunci pintu."

Ibu menyembulkan kepalanya di daun pintu. Aku mengangguk. Ku lihat ibu dan ayah sudah rapi dengan seragam kantornya. Setelah mereka berpamitan, aku langsung mengunci pintu depan rapat-rapat. Aku yakin, 'si pemakai nomor Putra' itu masih ada di sekitar rumah. Tak beberapa kemudian, terdengar suara mesin motor berhenti, sepertinya tepat di depan rumahku. Aku tidak berani melihat dari jendela. Aku takut jika tiba-tiba jendelaku dipecahkan dan aku ditarik paksa kemudian dibawa ke dalam semak-semak lalu dibunuh disana, seperti yang terjadi di kebanyakan cerita.

Aku meringkuk di atas sofa. Benar saja, pintu rumahku diketuk seseorang. Terus menerus. Ku pegang sebuah sapu, memberanikan diri untuk melihat siapa yang datang. Aku menjamin sapu ini akan langsung mengenai kepala orang itu jika ia mau macam-macam denganku.

"Putra?" Aku terkejut, tapi sedikit lega. Ternyata khayalan terlalu tinggi juga tidak baik untuk kejiwaanku. Aku memandangnya lekat, dari atas sampai bawah ku perhatikan. Bukan apa-apa, aku hanya takut yang ada di depanku ini hanya jelmaan atau apalah itu--bukan Putra yang sesungguhnya.

"Jangan dilihat terus, nggak seru kalau Lo duluan yang naksir gue," jawab Putra sambil menaikkan alisnya. Ya ampun, sejak kapan dia besar rasa seperti itu.

Aku mempersilahkannya masuk, namun hanya sampai ruang tamu saja. Putra juga tahu batasan, ia tahu Orangtuaku sedang bekerja di jam-jam segini.

"Lo siap-siap, gue mau ajak Lo jalan hari ini,"

"Oke, tunggu sebentar."

Entah mengapa tiba-tiba jantungku berdesir. Aku segera mengambil handuk dan membersihkan diri. Ya, layaknya seorang gadis, aku mencoba memakai pakaian 'perempuan' kali ini. Ya ampun, apa aku cocok memakai rok?

Cukup lama, akhirnya aku selesai. Aku menghampiri Putra yang sedang duduk di ruang tamu. Celana jeans dan kaos putih sangat cocok dengan kulitnya. Topi hitam yang dipakai benar-benar membuatnya terlihat seperti seorang idola remaja.

"Ayo berangkat," Putra menarik tanganku. Segera kuhempaskan itu.

"Mau kemana, sih?"

"Ke sekolah,"

"Mau ngapain?"

"Ikut aja, nanti gue jelasin di jalan."

Terbesit rasa kecewa di salah satu bagian tubuhku, entah dimana itu. Di hati? Mungkin. Memang terlalu berharap itu tidak baik. Aku pun mengangguk saja. Jarak dari rumahku  ke sekolah terasa begitu jauh karena hampir setengah perjalanan kami hanya saling diam. Aku sempat tersentak dan refleks memeluk Putra dari belakang karena dia mengerem mendadak. Hah, kebiasaan buruk laki-laki.

"Dasar modus!" Aku memukul pundak Putra dari belakang.

"Maaf,"

"Kita mau kemana sih! Mau ngapain ke sekolah?"

Tragedi Toilet Sekolah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang