Dua belas

312K 14.8K 547
                                    

       SELAMAT MEMBACA

"Pak." Gigi menghentikan langkah. Dia melepas rangkulan Haga dan menghembuskan napas panjang.  Menatap bangunan megah di depannya dengan ngeri. "Yakin, Bapak mau bohong sama keluarga, Bapak? Kalau ketahuan nasib saya gimana?" Gigi memasang wajah memelas dan menunduk saat Haga memberinya pelototan.

"Sudah terlanjur. Kenapa baru bertanya nasibmu sekarang?" Haga bertolak pinggang, dia memberi Gigi tatapan tajam.

"Karena saya baru memikirkannya sekarang," jawab Gigi tanpa berani melihat wajah Haga. Gigi yakin bosnya sedang marah besar.

"Salahmu sendiri, kenapa baru terpikirkan sekarang. Seharunya sebelum setuju, kamu sudah memikirkan semuanya. Keuntungan dan kerugian buatmu."

Bibir Gigi bergetar, dia cemberut dan menahan marah dalam hati. "Saya kan sudah menolak, tapi Bapak, paksa terus. Saya juga tidak diizinkan berpikir matang," kata Gigi kesal, tapi dia tetap berbicara dengan nada lembut dan sangat sopan.

"Kamu memiliki waktu berjam-jam sebelum kita tiba di sini, kenapa kamu baru tanya sekarang?"

Gigi menggerutu, sungguh dia sudah protes dan mengeluh. Namun, Haga mengabaikan. Berkata dia harus tenang saja karena keluarga lelaki itu baik dan meskipun dia tak percaya, rasa lelah membuatnya terlelap sangat lama.

"Sudahlah." Haga mengibaskan sebelah tangan. "Kamu tidak perlu khawatir. Saya akan menjamin hidupmu akan baik-baik saja," katanya kembali merangkul pinggang Gigi dan mengajak melangkah.

Kecewa berat, Gigi mengikuti langkah Haga dengan lesu. Dia ingin menyarankan agar lelaki itu mengenalkannya sebagai sekretaris  saja, tapi sepertinya percuma. Karena sudah pasti sang bos akan menolak usulannya.

"Gigi berjalan yang benar!"

Dia hanya bisa cemberut saat Haga memprotes cara jalannya. Beberapa lankah lagi mereka akan tiba di depan pintu rumah, membuat kaki terasa memberat dan langkahnya selambat siput. "Mungkin Bapak bisa berjalan lebih dulu," kata Gigi yang diabaikan Haga.

Dengan keras kepala Haga masih tetap menyeret Gigi bersamanya.

Gigi menahan napas, pintu di depanya perlahan terbuka. Mereka berdua berhenti melangkah, dua ibu ratu telah keluar dari dalam istana ini.

"Haga!" teriak wanita berusia kurang lebih 50 tahun, wanita itu berlari dan  memeluk Haga erat.

Gigi langsung mundur, dia bingung harus melakukan apa. Akan tetapi cekalan tangan Haga membuatnya tak bisa berkutik lebih jauh, selain tetap berdiri di samping lelaki itu dengan kepala tertunduk. Tidak berani menatap kedua wanita anggun di hadapannya.

"Apa kabar, Mam. Sehat?" tanya Haga setelah pelukan mereka terlepas. Gigi mengintip diam-diam, dia semakin gugup melihat keduanya.

"Mam selalu baik." Ibu Haga tersenyum lembut, dia mengusap pipi sang putra sebelum melepas dan mundur beerapa langkah. "Dan siapa ini?" tanyanya menatap ke arah Gigi dengan wajah penuh tanya.

"Gigi. Calon istriku." Haga tersenyum lebar, dia merangkul pinggang Gigi.

Sedangkan Gigi melongo, sangat terkejut dengan ucapan Haga. Bukankah dia hanya kekasihnya saja. Kenapa sekarang jadi calon istri begini? 

"Kamu mau menikah?" Gigi mengerjapkan mata mendengar pekikan heboh ibu Haga.

"Tentu saja, Mam. Ayo masuk. Kami lelah seharian melayang di udara." Gigi merasa nyawanya masih tak berada di tubuh saat Haga menariknya memasuki rumah.

                         *******

Bingung ingin melakukan apa, Gigi duduk dengan gelisah, dia terus menundukkan kepala ke bawah. Tidak berani menatap ke depan, ke arah dua wanita paru baya yang sedang duduk santai.

Haga & Gigi Where stories live. Discover now