Epilog

5.8K 542 280
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

Teruntuk, Ayah...

Terimakasih atas tahap pendewasaan yang selama ini selalu Ayah ajarkan kepadaku.

Terimakasih atas pelajaran hidup yang telah Ayah berikan kepadaku.

Karena mu, aku bisa merasakan manisnya mereguk iman.

Rasa sakit, dan semua rasa perihal pahit manisnya kehidupan, akan selalu aku genggam. Agar aku bisa belajar banyak rasa darimu.

Ayah... Kini aku tahu, perihal apa yang pernah dulu terucap darimu. Ayah benar, manisnya hidup tak selalu dapat kita cecap. Ada kalanya pahit harus dirasa agar diri tak terlalu jumawa berjalan di atas bumi-Nya.

Air mata dan derai tawa yang pernah menghiasi, biarlah abadi selalu dalam kalbu. Agar suatu hari nanti, akan ku ceritakan kepada cucu-cucumu, bagaimana tangguhnya engkau sebagai nahkoda keluargamu, yang selalu mengupayakan yang terbaik untuk kami.

Ayah... Terimakasih atas setiap tetes keringat yang kau curahkan, demi kami keluarga yang kau cintai dengan sebegitu besarnya. Dan dengan lantang aku akan berucap, "aku bangga bisa menjadi anakmu!"

Teruntuk, Ibu...

Kebencian pernah melegam di hatiku yang tertuju untukmu.

Kebencian yang bisa menjadi penghalang ku untuk merasakan manisnya telaga Al-Kautsar.

Kini, aku sadar. Bahwa kepergianmu dulu bukanlah keinginanmu. Ketiadaanmu dalam pendewasaan ku dan adik bukanlah kehendakmu.

Namun Allah telah menyusunnya sedemikian rupa untuk menguji imanku yang ringkih. Hingga aku bisa mengokohkannya kembali untuk membentengi diri dari segala tipu daya setan.

Ibu benar, aku tak perlu setangguh Fatimah binti Muhammad SAW. Karena aku hanyalah wanita akhir zaman yang penuh kekurangan dan ingin belajar untuk taat.

Ibu benar, aku hanyalah perlu menjadi seorang Aidah Sabiya Marwah yang selalu menanamkan akidah dalam hati, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan.

Terimakasih, Ibu. Nasihat-nasihat lama itu akan selalu abadi, dalam sanubari.

Dan teruntuk, Suamiku... Fawwaz Alfajar...

Hei! Lelaki dengan segudang misteri yang dengan beraninya menggenggam tangan ayahku di depan para saksi.

Terimakasih atas kesudianmu dalam bertanggung jawab atasku.

Mengenalmu mengajarkan ku bahwa ada luka yang lebih dari sekedar dari lukaku.

Mengenalmu mengajarkan ku arti dari penerimaan tiada batas. Ikhlas dan ridho atas jalan yang telah Allah pilih.

Teruntukmu suamiku, nahkoda dalam pelayaranku, semoga engkau tak pernah lelah dalam membimbing ku agar terus taat, dan bermetamorfosis menjadi bidadari yang di rindu syurga.

~Dariku, Aidah Sabiya Marwah

Setitik cairan bening jatuh tepat saat Sabiya menutup kembali buku bersampul biru tua itu. Rasa rindu kembali merengkuhnya kala mengingat kenangan yang telah usai lima tahun silam. Rasa sakit dan ketabahan yang selalu menjadi kawannya dulu, kini telah berganti dengan rasa senang dan syukur.

Mungkin, sampai saat ini. Belum ada yang bisa dia kasih untuk membalas pengorbanan orangtuanya selama ini. Karena cinta kasih dan pengorbanan orangtua tidak akan mampu terbalas oleh apapun.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 30, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Risalah Rasa [SELESAI]Where stories live. Discover now