Sabiya dan Bipolar

3K 434 39
                                    


بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

"Kamu memang berbeda, kamu memang tak sama, karena kamu istimewa dan Allah memberimu kelebihan itu sebagai wujud kasih sayang-Nya."

-Risalah Rasa-

•••

Jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, saat Rumi memasuki kamar putera sulungnya. Senyum manis bertengger di bibirnya. Sudah lama dia tidak melihat sosok di hadapannya. Maka dari itu, izinkan malam ini dia membalas rindunya yang telah tertumpuk.

Di depannya, Fawwaz tengah fokus dengan pena yang terselip di antara jari tangannya. Sesekali dia akan menorehkan tinta itu di atas buku agenda yang sudah menjadi teman akrabnya. Rasa lelah karena perjalanan tidak dia rasa, karena sudah menjadi kebiasaan untuknya selalu menuliskan sepatah atau lebih kata sebelum beranjak tidur.

"Segitu khusyuknya, Bang. Sampai Bunda masuk gak denger," goda Rumi.

Fawwaz yang baru menyadari kehadiran ibunya langsung tersenyum canggung, merasa tak enak hati.

"Hehe..., maaf, Bun."

"Ck. Kebiasaan!"

"Ada apa Bunda malem-malem ke kamarku?" tanya nya to the point.

"Emang salah, kalo Bunda pengen ngobrol sama anak Bunda yang setelah sekian lama baru ketemu lagi?"

Fawwaz terkekeh mendengar penuturan sang bunda yang lebih mengarah kepada rajukan.

Rumi melangkahkan kakinya, duduk di sebuah sofa bersebelahan dengan Fawwaz. Melirik sebentar sesuatu yang anaknya tulis, sebelum akhirnya Fawwaz menutupnya dengan cepat.

"Eyang Puteri gimana kabarnya? Sehat?"

"Alhamdulillah..., sehat, ko."

"Alhamdulillah kalo gitu."

Fawwaz menundukkan kepalanya, saat Rumi menatapnya dengan lekat. Hidup jauh dari seorang ibu membuatnya merasa canggung saat bertemu. Tak menyangkal jika hatinya pun bersorak rindu. Karena bagaimanapun, dia tidak bisa mengelak adanya ikatan batin dengan ibunya. Ingin sekali rasanya memeluk sang ibu, tapi rasanya malu. Ingin rasanya berucap rindu, tapi rasanya sungkan. Oh..., Rabbi. Beginikah rasanya seorang anak yang tumbuh jauh dari orangtua?

Ingin rasanya menyerukan protes ketidak adilan yang telah ibunya lakukan kepadanya. Tentang kenapa dia harus hidup dengan neneknya, bukan dengan ibunya. Namun alasan yang sangat sering dia dengar membuatnya mengerti, jika tempatnya memang bukan di sisi sang ibu. Dia harus legowo, meski kadang nelangsa. Suratan takdir telah menuliskan jalan hidupnya, tidak pantas jika dia menyeru kecewa.

"Bang, kamu gak mau meluk, Bunda? Apa kamu gak kangen sama Bunda?" tanya Rumi dengan suara lirih. Sebagai seorang ibu, dia tahu apa yang tengah dirasa anaknya.

Fawwaz menolehkan pandangannya kepada Rumi. Dalam hati dia menekan rasa sedih itu agar air matanya tidak menerobos seenaknya.

Cowo masa cengeng, malu kali! Batinnya berseru.

Namun logikanya menyangkal. Lelaki juga manusia yang punya hati untuk menjadi wadah perasaan. Jadi, wajar jika lelaki juga menangis. Tidak usah gengsi, karena gengsi hanya akan lebih menyengsarakanmu.

Senyuman mulai terbit di bibirnya saat mulai memeluk Rumi. Senyuman yang tipis itu ikut menular pada Rumi. Hatinya menghangat kala anak sulungnya itu memeluk tubuhnya dengan erat. Seingatnya, setahun yang lalu terakhir mereka berpelukan seperti ini.

Risalah Rasa [SELESAI]Where stories live. Discover now