Meniti Langkah

2.9K 419 36
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

"Jangan pernah takut mencoba  meski pada akhirnya menerima kegagalan. Sebab tidak ada kesuksesan tanpa terlebih dahulu menuai kegagalan."

-Risalah Rasa-

•••

Pancaran mentari pagi telah kembali menyapa bumi. Bersua dengan dentuman asa yang akan mengiringi makhluk-Nya dalam meniti langkah. Entah itu yang bertuju pada-Nya, atau dunia-Nya. Yang jelas, mentari telah melakukan tugasnya dengan baik. Memberi kehangatan kepada bumi.

Srettt....

Deritan gorden yang dibuka menjadi alunan suara yang mengiringi cahaya mentari, untuk masuk ke dalam kamar Sabiya. Gadis itu tersenyum sembari menutup kan matanya, menikmati paparan cahaya mentari yang menyapa kulit wajahnya dengan lembut. Pagi yang cerah, dan semoga secerah takdirnya hari ini.

"Allohumma inni As'aluka ilman nafi'an wa rizqon thoyyiban wa a'malan mutaqobalan"

"Ya Allah aku mohon kepada-Mu berikanlah kepadaku ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal dan amal yang diterima di sisimu." (HR Ibnu Majah dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Shahih Ibnu Majah no 762)

Doa yang tidak pernah absen gadis itu baca dikala pagi menyapa. Tiga pokok kebahagiaan yang ingin dia raih di dunia.

Sreeeddd....

Lagi-lagi suara deritan kembali terdengar di kamar itu. Kali ini, bukan suara deritan gorden dibuka. Melainkan pintu penghubung kamarnya dengan balkon.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, Sabiya tidak pernah absen untuk memberi pakan Lala dan Lili, yang disambut sepasang merpati itu dengan suka riang. Namun, dahi Sabiya berkerut saat hendak mengambil pakan merpati yang berada di sebelah kandang itu. Sedetik kemudian terdengah desahan yang keluar dari mulutnya. Rupanya, setelah dia mengingat-ingat,  dia memang belum membeli stok pakan merpatinya. Sungguh, kebiasaan pelupanya ini sangat menyebalkan. Andai di dunia ini ada obat penghilang lupa, maka dia akan membelinya.

Secepatnya dia memutar otaknya, mencari cara untuk mendapatkan pakan burung sepagi ini. Karena jika dia harus membelinya terlebih dahulu, mana lah ada yang buka di pagi buta seperti ini.

Seketika otaknya memberikan respon, neuron di otaknya benar-benar merespon dengan cepat. Seketika itu juga dia membalikkan tubuhnya menuju ujung balkon, meraih telepon kaleng yang menggantung di atasnya, dan menggoyangkannya sehingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring untuk memanggil seseorang yang ditujunya.

Tidak butuh menunggu waktu lama, muncul seorang pria berperawakan jangkung dengan mengenakan kaos oblong hitam dan celana kolor selututnya. Pria itu mencoba mencari sumber suara kegaduhan. Keningnya seketika berkerut saat melihat benda menggantung yang menjadi pusat dari kebisingan. Tangannya mulai meraih kaleng itu, menelitinya sejenak dan pandangannya mulai menyusuri benang kasur yang terhubung dengan kaleng. Pada saat itu juga, matanya terkunci pada sosok gadis berkhimar instan berwarna merah muda di sebrang sana, yang juga tengah memegang kaleng yang terhubung dengan kaleng yang berada di tangannya.

Sama halnya dengan pria itu, Sabiya juga mematung di tempatnya. Sepertinya panggilan kalengnya telah salah memanggil orang. Bukan Fikri yang keluar, melainkan...

"Bang Fawwaz...," gumamnya.

Fawwaz yang awalnya terpaku, berdehem sejenak untuk menetralkan mimik wajahnya. Begitupun dengan Sabiya di seberangnya yang entah mengapa merasa panas-dingin setelah tak sengaja matanya bersiborok dengan manik mata Fawwaz. Dalam pikirannya berkecamuk, kenapa bukan Fikri yang mengangkat telepon kalengnya?

Risalah Rasa [SELESAI]Where stories live. Discover now