Zidan dan Syam

3.4K 503 40
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

"Hidup sesederhana itu, hanya dengan kita bertaqwa kepada Allah, hati akan terasa tentram. Hanya manusianya saja yang membuat ribet hidupnya sendiri, dengan melanggar aturan karena tergoda syetan yang membuat iman jadi goyah."

-Risalah Rasa-

•••

Sorak sorai terdengar seantero SMP tempat Zidan menimba ilmu. Pagi ini, keberuntungan tengah melingkupi para siswa karena guru dan seluruh staf sekolah akan melaksanakan rapat dadakan. Yang otomatis, pembelajaran hari ini diliburkan.

Kebahagiaan seorang siswa memang sesederhana itu, cukup guru ada rapat atau urusan yang tidak bisa ditinggalkan, dan pelajaran diliburkan. Sudah cukup menjadi angin surgawi yang mereka hirup. Benar-benar kebahagiaan para siswa yang cukup sederhana.

Tapi, bagaimana dengan siswa yang sedang duduk di bangku pojok itu? Apa kebahagiaan juga menghampirinya, saat yang lain bersorak sorai bahagia?

Jawabannya adalah..., tidak. Zidan masih menelungkupkan tangannya di atas menja sembari menenggelamkan kepalanya di atasnya. Ditengah euforia disekelilingnya yang membuncah, lelaki yang beranjak remaja itu masih bergeming. Tidak sempat sedetikpun untuk sekedar menarik ujung bibirnya, ikut merayakan kabar gembira ini.

Karena bagi Zidan, ada atau tidak ada guru sama saja. Dia tidak akan pernah fokus belajar. Meski dia sendiri tidak tahu hal apa yang kerap mengganggu pikirannya.

Yang kerap Zidan lakukan, hanya duduk manis di bangku pojok dengan sesekali menahan kantuk. Mengerjakan soal jika diberi tugas dengan mencontek. Istirahat pertama dihabiskan di kantin, dan masuk kembali untuk mengikuti pembelajaran jika sedang mood. Jika sedang malas, ya bolos. Memangnya opsi apa lagi yang harus dipilih jika sedang malas, selain membolos? Meski sudah kerap dipanggil ke ruang BK dan diberi peringatan berkali-kali, tapi tetap saja hal itu akan berulang. Bagai minum obat, mungkin resep yang diberikan masih kurang ampuh. Atau mungkin, dosisnya yang harus ditingkatkan, demi masa depan yang cerah. Karena biar bagaimanapun, bukankah Zidan adalah calon imam masa depan?

"Woi! Ke kantin, yuk!" ajak Andi dengan menepuk keras pundak Zidan.

Zidan menegakkan tubuhnya, memonitor sekitar yang sudah terasa sepi. Pantas, kelas sudah tidak lagi gaduh.

Dengan gontai, Zidan berdiri dan mencangklong tas sekolahnya yang hanya berisi satu buah buku tulis.

"Lo sama yang lain aja, gue lagi males."

"Eee buset, tumben amat tuh bocah diajak nongkrong gak mau," Andi hanya geleng-geleng kepala sembari berkacak pinggang.

•••

Indra penglihatan Zidan memonitor setiap penjuru sekolah yang dia lewati. Suasana memang lebih sepi, karena kebanyakan sudah pada pulang setelah pengumuman pembelajaran diliburkan. Meski masih ada beberapa siswa yang lebih memilih menetap, hanya sekedar untuk mengobrol dengan sahabat, membaca buku di bawah rimbunnya pohon, atau bahkan ada juga yang tengah berdua-duaan bertaut tangan mesra.

Dalam hati, Zidan merapalkan istighfar. Meski termasuk kedalam deretan anak nakal, tapi tidak sekalipun dia menyentuh seseorang yang bukan mahramnya. Bahkan untuk sekedar menaruh rasa suka pun, dia masih enggan. Toh, dia juga masih SMP. Kecil-kecil pacaran, mau jadi apa kedepannya nanti? Papa muda? Naudzubillah himindzalik.

"Masih mending kecil-kecil bolos, masalahnya tidak akan berbuntut panjang, paling-paling dikeluarkan. Daripada kecil-kecil pacaran, masalahnya akan memiliki buntut berupa anak." Zidan bergidik ngeri saat pemikiran itu hinggap di otaknya.

Dengan langkah yang masih gontai, Zidan menaiki setiap undakan tangga. Semilir angin mulai terasa saat dirinya sudah sampai di rooftop sekolah. Tempat favorit nya menemui ketenangan. Jauh dari hiruk pikuk kehidupan yang terkadang menjemukan.

Di sini, Zidan menemukan ketenangan. Di sini, Zidan bisa merilekskan otaknya yang lelah akan kehidupan duniawi. Di sini pula, salah satu tempat untuk Zidan mencoba menerawang, seperti apa sosok ibu yang telah melahirkannya? Seperti apa sosok ibu yang telah meninggalkannya?

Jika ibunya pergi karena tidak menyukai hidup dengan dirinya dan keluarganya. Zidan akan terima itu, asalkan sekali saja dia diizinkan untuk bertemu ibunya. Dan menanyakan alasan apa yang membuat ibu meninggalkannya. Hanya itu, karena Zidan tidak akan menuntut lebih.

"Aaaaakkkhhhh...."

Zidan berteriak, mengeluarkan segala sesak yang menyeruak di dalam dada. Nafasnya memburu, seolah-olah udara yang ada tidak bisa menormalkan deru napasnya.

Air mata Zidan menetes. Tidak pernah ada yang menyangka, jika lelaki sebengal dan senakal Zidan juga sering meneteskan air matanya.

Pernah mendengar, jika kenakalan seorang remaja bisa diakibatkan karena faktor keluarga, bukan lingkungan saja? Maka itulah yang dialami Zidan. Semua kenakalan yang dia lakukan hanyalah untuk menutupi seberapa terpuruknya dia saat tengah sendiri. Semua kenakalan yang dia perbuat tidak lain semata-mata hanya untuk menarik perhatian ayahnya. Hanya saja, ayahnya hanya akan menoleh padanya sembari mengeluarkan kemarahan. Tanpa sedikitpun peka jika Zidan juga memerlukan perhatian. Hanya itu. Hanya itu yang Zidan ingin, tidak lebih.

"Aaaakkkhhh...."

Teriaknya kembali untuk yang kedua kalinya.

"Teriaklah sepuasmu, sampai semua amarahmu sirna, sampai kamu lelah. Namun hanya satu hal yang akan membuatmu lega. Yaitu dengan berpasrah diri kepada Yang Maha Kuasa, dalam sujudmu. Hal sederhana yang sering kamu tinggalkan."

Zidan menolehkan pandangannya kepada seorang adis berseragam sama dengannya yang berada di balik tubuhnya. Syam, gadis berkacamata yang merupakan teman sekelasnya ternyata sedari tadi membuntutinya.

"Apa dia membuntutiku sedari tadi?" batin Zidan.

Dengan perlahan, Syam yang dijuluki sebagai nerd di kelasnya itu melangkahkan kakinya mendekati Zidan. Bola matanya yang bulat terlihat berbinar walau terhalang kacamata minus yang dia kenakan.

"Aku emang gak tau masalah apa yang kamu hadapi. Cuma menurutku, teriak-teriak gak jelas seperti tadi itu hanya akan membuang energimu," Syam melemparkan tatapannya pada gumpalan awan di depannya. Ujung khimarnya sesekali bergoyang karena terpaan angin.

“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya." (QS. Al-Furqan:75)

Setelah membacakan arti salah satu kalam Allah, Syam menolehkan kepalanya memandang Zidan. Sejenak Zidan terpesona oleh binar dikedua bola mata Syam, dan lesung pipit di kedua pipinya. Cantik. Bersinar seperti matahari, persis seperti arti namanya. Syamsiah, matahari.

"Semoga masalah mu cepat usai."

Setelah mengucapkan itu, Syam kembali melangkah meninggalkan Zidan dengan keterpakuannya.

"Astagfirullah hal adzim..."

Zidan meraup mukanya dengan telapak tangan. Menarik napas dalam sejanak, untuk menormalkan debar aneh dalam hatinya. Sudah hampir tiga tahun mengenal Syam, kenapa baru saat ini Zidan mengakui kecantikannya?

•••

Masih adakah yang menunggu cerita ini? Mau tau dong, antusias kalian seperti apa untuk RiSa😁

Tegur aku jika ada kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan, ataupun informasi yang terdapat dalam cerita RiSa. Karena aku pun masih dalam tahap belajar😊.

Syukron katsiira sahabat RiSa yang sudah membaca. Ditunggu vote dan komennya, ya!

29-01-2019

Risalah Rasa [SELESAI]Where stories live. Discover now