Renjana di Balik Kabut

3K 451 143
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

Gak usah bersedih hati! Bukannya di balik awan mendung masih ada mentari yang setia menerangi? Meski sinarnya tak bisa menembus mega mendung, tapi cahayanya akan tetap terasa setelah hujan reda."

-Risalah Rasa-

•••

Secepat apapun kamu melangkah, dan sejauh apapun kamu pergi. Tetaplah keluarga tempatmu kembali, saat takdir bergejolak mempertaruhkan iman.

"Harta yang paling berharga adalah keluarga..."

Sabiya terkikik geli saat berulang kali menyanyikan lagu tersebut. Suasana hati bak bunga bermekaran, membuat Sabiya terus saja bersenandung kecil. Bahkan tingkah anehnya membuat si tetangga tengilnya pun tertawa pelan di balkon kamarnya.

"Hey, Gadis Manis! Ada apakah gerangan kau pagi-pagi sudah bersenandung ria?"

Sabiya menolehkan kepalanya. Dan dia menemukan Fikri dengan kaos oblong putih dan kolor berwarna pink, sontak warna kolor itu membuat Sabiya mengeraskan tawanya. Dia membalas  teriakkan Fikri menggunakan gaya bicara Fikri sebelumnya.

"Hey, Pinky Boy! Mau tau aja apa mau tau banget? Aku rasa kau harus mengecek kasurmu dulu, apakah basah atau tidak? Siapa tahu kau mengompol saat tidur nyenyak."

Pandangan Fikri seketika mengarah pada celana yang dia pakai. Saat itu juga neuron sensoriknya memberi impuls pada sum-sum tukang belakang sebelum akhirnya  menimbulkan gerak refleks. Pemuda itu menepuk jidat nya keras.

"Alamakkk... Kenapa bisa lupa kalo pake kolor pink," gerutunya pelan.

Mengabaikan Sabiya yang masih terkikik di balkon kamar gadis itu, Fikri segera lari terbirit-birit masuk ke dalam kamar kembali. Sontak Sabiya semakin mengeraskan tawanya sembari berteriak, "nanti malem jangan lupa pake pempes, Pinky Boy!"

Pagi yang cerah secerah kehidupannya akhir-akhir ini. Kebahagiaan yang semula terasa semu, kini telah menjadi nyata. Dengan pakaian yang sudah rapi, Sabiya berjalan menuruni anak tangga. Tujuannya kali ini adalah meja makan, untuk sarapan.

"Assalamualaikum... Pagi Ayah, pagi Ibu, pagi Zidan..."

Ketiga orang yang sudah terlebih dahulu duduk di meja makan itu menjawab salam Sabiya serempak.

Rasa hangat seketika melingkupi relung hati Sabiya. Saat formasi keluarganya telah lengkap. Meja makan yang dulu hanya sering diisi olehnya  dan Zidan, kini telah ramai. Keheningan yang semula sering tercipta, kini telah berubah. Hanya ada kehangatan yang mendominasi. Tidak ada lagi kedinginan yang hanya suara dentingan sendok saja yang menghiasi.

Pada hakekatnya, manusia hanya butuh satu rasa yang melindungi segenap rasa yang lainnya. Sabar, itu kuncinya. Yang akan mendobrak pintu kebahagiaan untuk dia jemput.

Kejadian lima bulan yang lalu biarlah menjadi sejarah untuk dia simpan dalam memori.

Sabiya pernah mendengar salah satu ceramah dari ustadzah di televisi. Bahwa Allah menciptakan otak kecil sebagai penyimpan memori di belakang kepala manusia, dan menciptakan dua bola mata di depan,  bukan di samping seperti ikan maupun ayam, itu semua ada sebabnya. Karena otak kecil yang terletak di belakang itu agar masa lalu setiap manusia tersimpan baik-baik untuk dijadikan pembelajaran dan ditinggalkan di belakang, bukan untuk kembali dilihat. Sedang kedua bola mata yang menyongsong ke depan itu agar manusia selalu melihat masa depan, dan tidak tergoda lagi untuk melirik masa lalu yang hanya pantas untuk dijadikan pembelajaran.

Risalah Rasa [SELESAI]Where stories live. Discover now